Maulid Nabi Bukan Amalan Bid’ah
February 2, 2013 by ANEUK MIED BAN RAYEUK
February 2, 2013 by ANEUK MIED BAN RAYEUK
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ – الأنبياء107
Tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya: 170)
*****
Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan istimewa bagi kaum muslimin. Di bulan itu, 14 abad yang lalu, lahir seorang anak manusia yang kelak akan menunjuki umat menuju jalan yang benar. Seorang anak manusia yang bukan hanya sebagai pembawa rahmat bagi umat manusia, akan tetapi juga semesta alam. Dialah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, utusan Allah untuk seluruh umat hingga hari Kiamat. Sebagai ekspresi rasa syukur, mayoritas kaum muslimin merayakan kelahirannya dengan peringatan yang dikenal dengan Maulid Nabi. Bentuk perayaan diwujudkan dalam beberapa amalan kebajikan, mulai dari pembacaan Al-Qur’an, sejarah ringkas kehidupan Nabi, shalawat, syair-syair pujian karya syair seperti Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simthud Durar, dan sebagainya dengan harapan sebagai napak tilas keteladanan dari cermin perilaku Nabi yang mulia dalam segala bidang. Hanya saja, ada sebagian kalangan yang tidak setuju dengan amalan ini, dan mengklaimnya sebagai amalan bid’ah.
Sebenarnya, perdebatan pro kontra seputar Peringatan Maulid Nabi ini telah berlangsung sekian abad silam. Banyak karya tulis disusun khusus untuk menyikapi hal ini. Diantaranya adalah risalah karya Imam As-Suyuthi berjudul Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid. Berikut ringkasan dari paparan beliau.
Peringatan Maulid Nabi, sepanjang dilakukan dalam bentuk perkumpulan jama’ah yang diisi dengan membaca Al-Qur’an, penuturan hadis-hadis atau ayat-ayat terkait kisah kehidupan, kemuliaan dan keteladanan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pemberian shadaqah berupa makanan yang dimakan bersama, lalu bubar, tidak lebih dari itu, pada hakikatnya adalah bid’ah hasanah, perbuatan baik yang belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallâhu anhum. Dengan rangkaian kegiatan semacam ini pelakunya mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat unsur penghormatan dan pengagungan pada Rasullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta merupakan perwujudan kegembiraan dan rasa syukur atas kelahiran beliau.
Kritik atas Amalan Maulid
Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhami as-Sakandari yang populer dengan julukan Al-Fâkihâni, seorang ulama’ mutaakhirin Malikiyah, mengajukan klaim bahwa peringatan Maulid merupakan bid’ah madzmumah atau bid’ah tercela. Beliau menyusun sebuah karya khusus membahas tentang topik ini, Al-Mawrid fi al-Kalâm ‘alâ ;Amal al-Mawlid.
Penolakan beliau dilandaskan pada alasan bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid ini, dari Al-Qur’an maupun as-sunnah, tidak juga diriwayatkan adanya ulama’ panutan umat yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ini. Bahkan, Maulid ini adalah amalan bid’ah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Penyimpulan ini, masih menurut Syaikh Al-Fâkihâni, didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum syar’i ada lima, adakalanya wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh atau haram. Sementara Maulid bukan perbuatan wajib atau mandub, karena tidak ada tuntunan untuk melakukannya, karena syara’ tidak memberikan izin, tidak juga dilakukan oleh shahabat atau tabi’in. Tidak mungkin pula Maulid ini distatuskan mubah, karena bid’ah dalam agama bukanlah perbuatan mubah menurut kesepakatan muslimin. Dan, pilihannya tiada lain, bahwa Maulid ini status hukumnya adalah makruh atau haram.
Jika dilakukan dengan pembiayaan kantong pribadi, dengan keluarga dan kalangan karib kerabatnya, tanpa mengundang massa untuk makan-makan bersama, dan tak ada unsur menularkan “dosa” pada mereka, maka bentuk semacam ini hukumnya adalah bid’ah yang berhukum makruh, karena tidak pernah dilakukan ulama’ generasi awal. Jika dalam pembiayaan melibatkan massa, sehingga ada unsur ketidakrelaan dan keterpaksaan dalam mengeluarkan harta, maka semacam ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil.
Terlebih lagi jika peringatan Maulid dengan bentuk massal semacam ini dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilâth) antara lelaki dan perempuan. Maka amalan Maulid dengan bentuk semacam ini jelas dihukumi haram.
Di akhir paparannya, Syaikh Al-Fâkihâni mengingatkan, bahwa bulan kelahiran Rasulullah – yakni Rabi’ul Awwal – adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan.
Sanggahan Imam As-Suyuthi
Berikut garis besar sanggahan yang diajukan Imam As-Suyuthi :
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid dari Al-Qur’an maupun as-sunnah. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa tidak diketahuinya sesuatu bukan berarti tidak adanya sesuatu tersebut. (Begitu juga, tidak diketahui dasar Maulid dari Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan berarti dasar itu tidak ada. Padahal, sejumlah ulama’ telah mengajukan sekian dalil dari Al-Qur’an maupun as-sunnah yang melandasi amalan Maulid ini. Lebih lengkapnya dalam paparan selanjutnya)
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid adalah amalan bid’ah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa amalan Maulid telah dilakukan oleh seorang pemimpin adil dan alim (sebagaimana dalam awal paparan) dan dihadiri oleh para ulama’ dan orang-orang shaleh tanpa adanya pengingkaran dari mereka.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid bukan amalan mandub (sunnah) karena hakikat mandub adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syara’. Pernyataan ini disanggah dengan paparan sebagai berikut : Bahwa anjuran dalam perbuatan yang mandub adakalanya dengan melalui dasar nash (Al-Qur’an atau hadis), adakalanya pula dengan melalui qiyas (analogi). Dalam masalah Maulid ini, meski tidak ada nash yang menjelaskannya secara eksplisit, akan tetapi terdapat pola qiyas dari dua sumber nash, sebagaimana paparan selanjutnya.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid bukan perbuatan mubah karena amalan bid’ah tidak bisa distatuskan mubah menurut kesepakatan ulama’. Pernyataan ini tidak bisa diterima. Karena bid’ah tidak hanya terkhusus pada hukum makruh dan haram saja. Akan tetapi terkadang bid’ah juga distatuskan mubah, mandub dan wajib. Imam An-Nawawi membagi bid’ah dalam dua kategori, bid’ah hasanah (baik) dan qabihah (buruk). Syaikh Izzuddin bin Abdissalam mengklasifikasikan bid’ah dalam lima model, bid’ah wajibah (yang wajib), muharramah (yang haram), mandubah (yang sunnah), makruhah (yang makruh) dan mubahah (yang mubah). Dicontohkannya, bid’ah mandubah misalnya mendirikan pesantren dan madrasah, perbuatan baik yang tidak ada di generasi awal, termasuk diantaranya adalah shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah. Imam Asy-Syafi’i pun mengajukan pola klasifikasi serupa, dengan membagi bid’ah dalam kategori dlalâlah (sesat) dan ghair madzmumah (tidak tercela). Umar bin Khathab ketika mengomentari pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat dengan berjama’ah, mengatakan “Bid’ah paling baik adalah ini (yakni tarawih, pent.)”. Karenanya, pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa bid’ah tidak bisa distatuskan mubah, adalah pernyataan yang tidak benar, karena jika ditimbang dengan timbangan syara’, amaliah Maulid tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, as-sunnah, atsar (tindakan shahabat), ataupun ijma’. Karenanya, Maulid bukanlah bid’ah madzmumah. Karenanya, membagi-bagikan makanan jika dilakukan tanpa ada unsur keharaman (keterpaksaan, akhdz al-mâl ‘alâ wajh al-hayâ’ ‘mengambil harta orang lain karena pemberinya malu jika tidak memberi’, dan sebagainya) adalah sebuah tindak kebajikan.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa peringatan Maulid karena dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilâth) antara lelaki dan perempuan, adalah amalan haram. Penyataan ini adalah benar. Akan tetapi keharaman ini munculnya karena dalam tataran praktiknya, terjadi hal-hal keharaman yang dilarang syara’, bukan karena amaliah Maulidnya. Andaikan kemungkaran semacam ini (permainan musik yang melalaikan, ikhtilâth ‘interaksi fisik lelaki-perempuan’ dan bentuk kemungkaran lain) terjadi dalam perkumpulan dalam rangka shalat tarawih misalnya, maka kemungkaran-kemungkaran ini adalah perbuatan tercela. Dan status “tercela” ini tidak sampai mengantarkan vonis penilaian “tercela” bagi hukum asal perkumpulan dalam rangka shalat Jum’at. Berkumpul untuk shalat tarawih adalah tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tindak tercela dan terlarang. Begitu pula dalam masalah Maulid; hukum asal perkumpulan untuk mensyiarkan Maulid adalah sunnah dan merupakan tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tercela dan terlarang.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa bulan kelahiran Rasulullah – yakni Rabi’ul Awwal – adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan. Pernyataan ini disanggah dengan paparan berikt : Bahwa kelahiran Nabi adalah nikmat paling agung, sedangkan kewafatan Nabi adalah musibah paling agung. Syariat menganjurkan untuk menampakkan kenikmatan dan menyembunyikan musibah. Contohnya, syariat menganjurkan aqiqah yang berarti menampakkan rasa syukur dan gembira atas anak yang dilahirkan; akan tetapi di saat kematian, syariat tidak menganjurkan untuk menyembelih ataupun yang lainnya, bahkan melarang niyahah ‘meratapi kepergian mendiang’. Karenanya, dalam bulan Rabi’ul Awal, dianjurkan untuk menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasul, bukan menampakkan kesedihan atas wafat beliau.
Tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya: 170)
*****
Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan istimewa bagi kaum muslimin. Di bulan itu, 14 abad yang lalu, lahir seorang anak manusia yang kelak akan menunjuki umat menuju jalan yang benar. Seorang anak manusia yang bukan hanya sebagai pembawa rahmat bagi umat manusia, akan tetapi juga semesta alam. Dialah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, utusan Allah untuk seluruh umat hingga hari Kiamat. Sebagai ekspresi rasa syukur, mayoritas kaum muslimin merayakan kelahirannya dengan peringatan yang dikenal dengan Maulid Nabi. Bentuk perayaan diwujudkan dalam beberapa amalan kebajikan, mulai dari pembacaan Al-Qur’an, sejarah ringkas kehidupan Nabi, shalawat, syair-syair pujian karya syair seperti Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simthud Durar, dan sebagainya dengan harapan sebagai napak tilas keteladanan dari cermin perilaku Nabi yang mulia dalam segala bidang. Hanya saja, ada sebagian kalangan yang tidak setuju dengan amalan ini, dan mengklaimnya sebagai amalan bid’ah.
Sebenarnya, perdebatan pro kontra seputar Peringatan Maulid Nabi ini telah berlangsung sekian abad silam. Banyak karya tulis disusun khusus untuk menyikapi hal ini. Diantaranya adalah risalah karya Imam As-Suyuthi berjudul Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid. Berikut ringkasan dari paparan beliau.
Peringatan Maulid Nabi, sepanjang dilakukan dalam bentuk perkumpulan jama’ah yang diisi dengan membaca Al-Qur’an, penuturan hadis-hadis atau ayat-ayat terkait kisah kehidupan, kemuliaan dan keteladanan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pemberian shadaqah berupa makanan yang dimakan bersama, lalu bubar, tidak lebih dari itu, pada hakikatnya adalah bid’ah hasanah, perbuatan baik yang belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallâhu anhum. Dengan rangkaian kegiatan semacam ini pelakunya mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat unsur penghormatan dan pengagungan pada Rasullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta merupakan perwujudan kegembiraan dan rasa syukur atas kelahiran beliau.
Kritik atas Amalan Maulid
Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhami as-Sakandari yang populer dengan julukan Al-Fâkihâni, seorang ulama’ mutaakhirin Malikiyah, mengajukan klaim bahwa peringatan Maulid merupakan bid’ah madzmumah atau bid’ah tercela. Beliau menyusun sebuah karya khusus membahas tentang topik ini, Al-Mawrid fi al-Kalâm ‘alâ ;Amal al-Mawlid.
Penolakan beliau dilandaskan pada alasan bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid ini, dari Al-Qur’an maupun as-sunnah, tidak juga diriwayatkan adanya ulama’ panutan umat yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ini. Bahkan, Maulid ini adalah amalan bid’ah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Penyimpulan ini, masih menurut Syaikh Al-Fâkihâni, didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum syar’i ada lima, adakalanya wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh atau haram. Sementara Maulid bukan perbuatan wajib atau mandub, karena tidak ada tuntunan untuk melakukannya, karena syara’ tidak memberikan izin, tidak juga dilakukan oleh shahabat atau tabi’in. Tidak mungkin pula Maulid ini distatuskan mubah, karena bid’ah dalam agama bukanlah perbuatan mubah menurut kesepakatan muslimin. Dan, pilihannya tiada lain, bahwa Maulid ini status hukumnya adalah makruh atau haram.
Jika dilakukan dengan pembiayaan kantong pribadi, dengan keluarga dan kalangan karib kerabatnya, tanpa mengundang massa untuk makan-makan bersama, dan tak ada unsur menularkan “dosa” pada mereka, maka bentuk semacam ini hukumnya adalah bid’ah yang berhukum makruh, karena tidak pernah dilakukan ulama’ generasi awal. Jika dalam pembiayaan melibatkan massa, sehingga ada unsur ketidakrelaan dan keterpaksaan dalam mengeluarkan harta, maka semacam ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil.
Terlebih lagi jika peringatan Maulid dengan bentuk massal semacam ini dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilâth) antara lelaki dan perempuan. Maka amalan Maulid dengan bentuk semacam ini jelas dihukumi haram.
Di akhir paparannya, Syaikh Al-Fâkihâni mengingatkan, bahwa bulan kelahiran Rasulullah – yakni Rabi’ul Awwal – adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan.
Sanggahan Imam As-Suyuthi
Berikut garis besar sanggahan yang diajukan Imam As-Suyuthi :
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid dari Al-Qur’an maupun as-sunnah. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa tidak diketahuinya sesuatu bukan berarti tidak adanya sesuatu tersebut. (Begitu juga, tidak diketahui dasar Maulid dari Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan berarti dasar itu tidak ada. Padahal, sejumlah ulama’ telah mengajukan sekian dalil dari Al-Qur’an maupun as-sunnah yang melandasi amalan Maulid ini. Lebih lengkapnya dalam paparan selanjutnya)
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid adalah amalan bid’ah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa amalan Maulid telah dilakukan oleh seorang pemimpin adil dan alim (sebagaimana dalam awal paparan) dan dihadiri oleh para ulama’ dan orang-orang shaleh tanpa adanya pengingkaran dari mereka.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid bukan amalan mandub (sunnah) karena hakikat mandub adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syara’. Pernyataan ini disanggah dengan paparan sebagai berikut : Bahwa anjuran dalam perbuatan yang mandub adakalanya dengan melalui dasar nash (Al-Qur’an atau hadis), adakalanya pula dengan melalui qiyas (analogi). Dalam masalah Maulid ini, meski tidak ada nash yang menjelaskannya secara eksplisit, akan tetapi terdapat pola qiyas dari dua sumber nash, sebagaimana paparan selanjutnya.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid bukan perbuatan mubah karena amalan bid’ah tidak bisa distatuskan mubah menurut kesepakatan ulama’. Pernyataan ini tidak bisa diterima. Karena bid’ah tidak hanya terkhusus pada hukum makruh dan haram saja. Akan tetapi terkadang bid’ah juga distatuskan mubah, mandub dan wajib. Imam An-Nawawi membagi bid’ah dalam dua kategori, bid’ah hasanah (baik) dan qabihah (buruk). Syaikh Izzuddin bin Abdissalam mengklasifikasikan bid’ah dalam lima model, bid’ah wajibah (yang wajib), muharramah (yang haram), mandubah (yang sunnah), makruhah (yang makruh) dan mubahah (yang mubah). Dicontohkannya, bid’ah mandubah misalnya mendirikan pesantren dan madrasah, perbuatan baik yang tidak ada di generasi awal, termasuk diantaranya adalah shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah. Imam Asy-Syafi’i pun mengajukan pola klasifikasi serupa, dengan membagi bid’ah dalam kategori dlalâlah (sesat) dan ghair madzmumah (tidak tercela). Umar bin Khathab ketika mengomentari pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat dengan berjama’ah, mengatakan “Bid’ah paling baik adalah ini (yakni tarawih, pent.)”. Karenanya, pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa bid’ah tidak bisa distatuskan mubah, adalah pernyataan yang tidak benar, karena jika ditimbang dengan timbangan syara’, amaliah Maulid tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, as-sunnah, atsar (tindakan shahabat), ataupun ijma’. Karenanya, Maulid bukanlah bid’ah madzmumah. Karenanya, membagi-bagikan makanan jika dilakukan tanpa ada unsur keharaman (keterpaksaan, akhdz al-mâl ‘alâ wajh al-hayâ’ ‘mengambil harta orang lain karena pemberinya malu jika tidak memberi’, dan sebagainya) adalah sebuah tindak kebajikan.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa peringatan Maulid karena dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilâth) antara lelaki dan perempuan, adalah amalan haram. Penyataan ini adalah benar. Akan tetapi keharaman ini munculnya karena dalam tataran praktiknya, terjadi hal-hal keharaman yang dilarang syara’, bukan karena amaliah Maulidnya. Andaikan kemungkaran semacam ini (permainan musik yang melalaikan, ikhtilâth ‘interaksi fisik lelaki-perempuan’ dan bentuk kemungkaran lain) terjadi dalam perkumpulan dalam rangka shalat tarawih misalnya, maka kemungkaran-kemungkaran ini adalah perbuatan tercela. Dan status “tercela” ini tidak sampai mengantarkan vonis penilaian “tercela” bagi hukum asal perkumpulan dalam rangka shalat Jum’at. Berkumpul untuk shalat tarawih adalah tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tindak tercela dan terlarang. Begitu pula dalam masalah Maulid; hukum asal perkumpulan untuk mensyiarkan Maulid adalah sunnah dan merupakan tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tercela dan terlarang.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa bulan kelahiran Rasulullah – yakni Rabi’ul Awwal – adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan. Pernyataan ini disanggah dengan paparan berikt : Bahwa kelahiran Nabi adalah nikmat paling agung, sedangkan kewafatan Nabi adalah musibah paling agung. Syariat menganjurkan untuk menampakkan kenikmatan dan menyembunyikan musibah. Contohnya, syariat menganjurkan aqiqah yang berarti menampakkan rasa syukur dan gembira atas anak yang dilahirkan; akan tetapi di saat kematian, syariat tidak menganjurkan untuk menyembelih ataupun yang lainnya, bahkan melarang niyahah ‘meratapi kepergian mendiang’. Karenanya, dalam bulan Rabi’ul Awal, dianjurkan untuk menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasul, bukan menampakkan kesedihan atas wafat beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar