Jumat, 05 April 2013

Menyiram Air Bunga pada Kuburan

Hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain :
وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِة
Artinya : Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin sebagai pengharapan dinginnya tempat berbaring (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan sedikit air mawar, karena malaikat senang pada aroma yang harum.[1]

Pada halaman lain masih dalam kitab Nihayah al-Zain, beliau mengatakan :
وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ على القبر كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً
Artinya : Disunnatkan meletak sesuatu yang masih segar atas kuburan, seperti pelepah kurma yang masih hijau dan tumbuhan-tumbuhan yang harum, karena itu meminta keampunan bagi mayat selama ia dalam keadaan segar.[2]

Dalam Kitab Fath al-Mu’in, Zainuddin al-Malibary mengatakan sebagai berikut :
يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ
Artinya : Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. dan dapat meringankan beban si mayat karena berkah bacaan tasbihnya dan disamakan dengannya apa yang menjadi adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan masih segar.[3]

Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍا كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ فأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا.(متفق عليه)
Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, Nabi SAW melewati dua perkuburan, maka Nabi mengatakan, “Kedua-duanya sedang disiksa, tetapi bukan karena dosa besar, yang seorang buang air kecil tidak bersuci dan seorang lagi tukang fitnah.” Kemudian Nabi mengambil pelepah kurma yang masih hijau dan dibelah dua. Kemudian masing-masing ditanam pada setiap perkuburan. Ada yang bertanya, Ya Rasulullah kenapa engkau lakukan ini ? Jawab beliau, “Mudah-mudahan keduanya dapat meringankan siksaannya selama belum kering.(Muttafaqun ‘alaihi)[4]






[1] Syekh al-Nawawi al-Bantany, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Hal. 178
[2] Syekh al-Nawawi al-Bantany, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Hal. 188
[3] Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 119
[4] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila Adallah al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 165-166
BID’AH HASANAH MENURUT AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, (Bag. 2) ,OLEH TGK ALIZAR USMAN, S.Ag, M.Hum

H. Bantahan terhadap syubhat yang dikemukakan oleh orang yang menolak adanya bid’ah hasanah


Syubhat pertama,

Sekelompok umat Islam yang menolak adanya bid’ah hasanah. Mereka mengatakan, agama Islam sudah sempurna dengan turunnya Q.S. al-Maidah : 3 ;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. al-Maidah : 3)


Dengan demikian, agama yang sempurna ini tidak boleh ditambah-tambah lagi dengan apapun bentuknya, baik dengan apa yang disebut sebagai bid’ah hasanah atau lainnya.

Bantahan

Adanya pemahaman adanya bid’ah hasanah, tidak berarti dengan demikian ada anggapan ketidaksempurnaan agama Islam. Karena kesempurnaan agama Islam tentunya bukan dengan adanya semua peraturan yang detil yang mengatur jalan hidup manusia. Namun kesempurnaannya itu datang dengan adanya aturan-aturan atau norma secara garis besar yang menjadi acuan ijtihad para ulama sebagai pewaris Nabi SAW. Pemahaman adanya bid’ah hasanah yang didasarkan kepada dalil-dalil atau qawaid yang bersifat umum merupakan penjabaran dari pemahaman kesempurnaan agama Islam dengan adanya aturan-aturan atau norma secara garis besar. Dengan demikian, ayat di atas tidak relevan dijadi dalil untuk menolak adanya bid’ah hasanah.

Lagi pula apabila yang dimaksud Q.S. al-Maidah : 3 di atas, adalah tidak ada lagi penetapan hukum setelah turun ayat ini, maka pendapat itu keliru, karena masih ada ayat al-Qur’an yang turun setelah ayat ini, yakni antara lain yang turun terakhir kalinya, yaitu :


يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. an-Nisa’ : 176)


Menurut riwayat dari al-Bara’ bin ’Azib, ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turunnya.[1] Riwayat ini juga telah diriwayat oleh al-Syaikhani dari al-Bara’ bin ‘Azib sebagaimana dijelaskan al-Suyuthi dalam al-Itqan[2] Dalam kitab al-Itqan juga disebut beberapa pendapat lain mengenai ayat al-Qur’an yang terakhir diturunkan, seperti ayat riba dan lainnya, tetapi tidak disebutkan ada yang berpendapat bahwa ayat Q.S. al-Maidah : 3 merupakan ayat yang terakhir diturunkan Allah.[3] Dengan demikian, Q.S. al-Maidah : 3 bukanlah merupakan ayat yang terakhir yang diturunkan Allah SAW. Berdasarkan kesimpulan ini, al-Thabari mengutip pendapat Abu Ja’far yang mengatakan bahwa pengertian Q.S. al-Maidah : 3 di atas adalah bermakna Makkah al-Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim. Mulai kejadian turunnya ayat ini, maka Allah mengabarkan bahwa Nabi SAW dan orang-orang yang beriman kepadanya telah disempurnakannya dengan sebab orang-orang musyrikin tidak dapat lagi memasuki masjidil haram.[4]


Syabhat kedua,

Ada yang mengatakan, kalau dibolehkan apa yang dinamakan dengan bid’ah hasanah, maka tentu dibolehkan menambah misalnya raka’at shalat dhuhur menjadi lima raka’at dengan beralasan sebagai bid’ah hasanah. Padahal menambah raka’at shalat wajib seperti dhuhur telah disepakati para ulama tidak dibolehkan.

Bantahan

Pernyataan, kalau dibolehkan apa yang dinamakan dengan bid’ah hasanah, maka tentu dibolehkan menambah misalnya raka’at shalat dhuhur menjadi lima raka’at dengan beralasan sebagai bid’ah hasanah, merupakan pernyatan yang sangat keliru. Karena menambah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam seperti dhuhur bertentangan dengan dalil agama yang melarangnya. Sedangkan suatu amalan disebut sebagai bid’ah hasanah sebagaimana yang telah dijelaskan haruslah merupakan amalan yang didukung oleh dalil atau qawaid agama yang sifatnya umum. Oleh karena itu, amalan yang bertentangan dengan dalil agama, tidak dapat dikatagorikan sebagai bid’ah hasanah, bahkan ini dimasukkan dalam katagori bid’ah dhalalah.

Ketidakbolehan menambah jumlah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam adalah berdasarkan qaidah ushul fiqh, berbunyi :

ان السكوت عن البيان بعد تحقق الحاجة دليل النفي

Artinya : Sesungguhnya diam dari penjelasan sesuatu sesudah adanya kepastian kebutuhan kepadanya adalah merupakan dalil dinafikannya.[5]


Berdasarkan qaidah ini, dapat dipahami bahwa diamnya Rasulullah SAW dengan tidak menjelaskan apakah boleh menambah jumlah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam pada sa’at dibutuhkan penjelasannya, merupakan dalil dan penjelasan tidak dibolehkan menambah jumlah raka’atnya. Dengan demikian penundaan penjelasan pada waktu dibutuhkan penjelasannya merupakan penjelasan tidak dibolehkannya sesuatu perbuatan. Karena menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak dibolehkan dengan ijmak ulama sebagaimana diterangkan oleh al-Amady.[6] Al-Bazdawi mengatakan :

ان السكوت في موضع الحاجة إلى البيان بيان

Artinya : Sesungguhnya diam pada waktu dibutuhkan kepada penjelasan adalah merupakan suatu penjelasan.[7]


Maksudnya, diam tersebut merupakan penjelasan tidak boleh dikerjakan perbuatan yang didiamkan itu, sebagaimana qaidah yang disebut oleh al-Sharkhasi di atas. Lagi pula penambahan rakaat shalat melebihi dari jumlah yang ma'ruf tersebut tidak dapat dimasukkan dalam katagori bid'ah hasanah karena hal itu bertentangan dengan ijmak ulama. Bid'ah yang bertentangan dengan ijmak termasuk dalam katagori bid'ah dhalalah sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini.


Syabhat ketiga,

Ada juga yang berargumentasi dengan hadits shahih, yaitu :

كل بدعة ضلالة

Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat (H. R. Muslim)[8]


Mereka mengatakan hadits ini secara terang dan gamblang menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Lafadh ”kull” secara terang dan gamblang menunjukkan kepada makna umum (semua), maka tidak boleh ditakwil-takwil kepada makna sebagian. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya bid’ah hasanah

Bantahan

Dalam Ushul Fiqh, mengenai lafadh yang bermakna umum, dikenal istilah al-’am, yaitu lafadh yang mencakup semua satuannya tanpa batas. Lafadh al-’am ini kemudian terbagi tiga, yaitu a’-am yang maksudnya kulliah (semua satuannya) dan sifatnya adalah dhanni, al-’am al-murad bihi al-khusus (maksudnya khusus) dan al-’am al-makhshus (al-’am yang dikhususkan satuannya). Sedangkan lafadh ”kull” merupakan lafadh yang dhahirnya menunjukkan kepada umum.[9] Berangkat dari penjelasan ini, maka pengertian hadits di atas memungkinkan berkisar diantara tiga katagori di atas. Tafshilnya adalah :

a. Apabila ditempatkan hadits tersebut sebagai al-’am yang maksudnya umum, maka pengertian hadits itu : ”Semua bid’ah adalah sesat”. Pengertian ini jelas bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menjelaskan kebolehan melakukan bid’ah hasanah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, menempatkan hadits ini dalam katagori ini tidak tepat. Tidak menggunakan lafadh al-’am bermakna semua satuannya merupakan pemahaman yang dimungkinkan, karena lafadh al-’am bermakna semua satuannya (kulliyah), sifatnya adalah dhanni, bukan qath’i. Dengan demikian, hadits di atas, kemungkinannya masuk dalam dua katagori selanjutnya.

b. Berdasarkan keterangan dalil-dalil bid’ah hasanah di atas, kemungkinan hadits di atas masuk dalam katagori al-’am al-murad bihi al-khusus (maksudnya khusus). Jadi yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid’ah, yaitu bid’ah yang tidak berdasarkan dalil atau qawaid yang umum. Disebut sebagian bid’ah dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan umum bid’ah adalah majaz. Dengan menempatkan sebagian bid’ah pada posisi semua bid’ah, Rasulullah SAW ingin menjelaskan bahwa bid’ah dhalaalah sangat dimurkai Allah.

c. Mungkin juga lafadh hadits di atas ditempat dalam katagori al-’am al-makhshus (al-’am yang dikhususkan satuannya) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Nawawi di atas. Berdasarkan ini, maka lafadh ”kull” pada hadits di atas, bermakna semua satuannya secara hakikat, namun keumumannya ini telah dikhususkan oleh dalil-dalil lain sebagaimana disebut di atas. Maka makna haditsnya ”Semua bid’ah adalah sesat kecuali bid’ah hasanah’. Contoh lain dalam al-Kitab dan al-Sunnah, lafadh ”kull” bermakna al-am al-makhshus, antara lain QS. al-Anbiya', 30:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

Artinya : Dan Kami telah menjadikan setiap sesuatu yang hidup dari air (Q.S. al-Anbiya : 30)


Bukan berarti ayat tersebut difahami bahwa semua makhluk hidup dijadikan oleh Allah dari air, karena makhluk jin dijadikan dari api, sebagaimana firman Allah dalam QS. ar-Rahman :15:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

Artinya : Allah telah menjadikan jin dari nyala api (Q.S. ar-Rahman : 15)


Contoh lain adalah QS. al-An’am : 102, berbunyi :

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ


Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah, Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 102)


Menurut Zakariya al-Anshari firman Allah ” Pencipta segala sesuatu” dikhususkan oleh akal pada bukan selain Allah, karena tidak mungkin Allah mencipta diri-Nya sendiri.[10]

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipastikan bahwa dakwaan hadits ”Setiap bid’ah adalah sesat” adalah sharih dan harus dimaknai kepada semua bid’ah merupakan dakwaan keliru. Tetapi yang benar adalah hadits tersebut bermakna sebagian bid’ah adalah sesat, baik dengan menjadikannya sebagai al-’am maksudnya khusus atau al-’am al-makhshus.

Syubhat keempat,

Dalil lain yang sering digunakan untuk menolak bid’ah hasanah adalah hadits ;

صلوا كما رأيتموني أصلي

Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Mereka mengatakan berdasarkan hadits ini, wajib melakukan shalat sebagaimana shalat Nabi SAW. Menambah sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW adalah bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Kalau dalam ibadah seperti shalat tidak dibolehkan melakukannya, maka dalam ibadah-ibadah lainnya tentu juga tidak dibolehkan.

Bantahan

Lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah


حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri[11] dan Syafi’i)[12]


Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Sabda Rasulullah SAW ini menggunakan fi’l al-amar (kata kerja perintah), maka dhahirnya menunjukan kepada wajib. Berdasarkan ini, maka wajib melakukan apa saja yang perbuat oleh Rasulullah SAW dalam shalat beliau. Ini tentu saja bertentangan dengan kesepakatan ulama, bahwa dalam shalat Rasulullah SAW ada perbuatan wajib dan ada juga perbuatan yang hanya sunat dilakukan. Untuk menjawab ini, Al-Nawawi menjelaskan bahwa hadits tersebut mengecualikan perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW yang diannggap sebagai sunat karena ada dalil lain yang menerangkannya.[13]

Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :

1. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?

2. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak adanya bid’ah hasanah.

3. Berdasarkan penjelasan nomor satu dan dua di atas, serta dalil-dalil adanya bid’ah hasanah yang telah dikemukakan sebelum ini, maka perbuatan dalam shalat yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya, selama termasuk dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah dapat dipastkan boleh dikerjakan dan bahkan dianjurkan melakukannya.


Syubhat kelima,

Kalau dibolehkan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah itu, tentu Rasulullah SAW dan sahabat beliau tidak akan meninggalkannya. Bukankah Rasulullah SAW dan sahabatnya lebih taqwa dan ta’at kepada Allah dan sangat menggemari ibadah kepada Allah dibanding ummat sesudahnya ? Ini menunjukan bahwa tidak ada yang namanya bid’ah hasanah dan semua bid’ah adalah sesat.

Bantahan

Syubhat kelima ini merupakan pemahaman yang berangkat dari asumsi bahwa apa yang ditinggalkan (tidak melakukannya) oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang dilarang. Padahal asumsi ini sangat keliru, karena tidak selamanya Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan dapat berarti perbuatan tersebut dilarang. Karena Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan, sebagaimana karena perbuatan tersebut diharamkan seperti beliau tidak minum khamar, tidak berzina dan lain-lain, juga adakalanya karena faktor-faktor lain bukan karena faktor haram. Jadi dengan demikian, syubhat yang kelima ini tidak tepat menjadi dalil untuk menolak bid’ah hasanah.

Faktor-faktor lain yang bukan karena faktor haram yang menjadi alasan Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan, antara lain :

1. Meninggalkannya karena tidak ada faktor-faktor yang menggerakkan beliau melakukannya, seperti meninggalkan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Rasulullah SAW tidak melakukannya karena tidak wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya dan sebaliknya, Abu Bakar r.a. melakukannya, karena wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya.[14] Contoh lain adalah Rasulullah SAW meninggalkan menghimpun al-Qur’an dalam satu mashaf, karena tidak muncul kekuatiran pada zamannya bahwa al-Qur’an akan bercampur dengan lainnya dan dapat hilang dari hafalan-hafalan manusia. Kekuatiran tersebut muncul pada zaman sahabat Nabi karena penghafal-penghafal al-Qur’an banyak yang sudah wafat, maka para Khulafaurrasyidin sesudah Rasulullah SAW membukukan al-Qur’an dalam bentuk suatu mashaf sebagaimana Mashaf Usmany yang ada sekarang.[15]

2. Meninggalkannya karena ada hal yang menghalanginya, sedangkan faktor yang menggerakkan melakukannya wujud. Hal yang menghalanginya itu yaitu :

a. kuatir difardhukan kepada umatnya, seperti Rasulullah SAW meninggalkan keluar berjama’ah shalat Tarawih ke mesjid sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut

أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau keluar untuk shalat pada malam berikutnya, maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka. Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali kekuatiranku difardhukan shalat itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H R. Bukhari,[16] Muslim [17]dan Malik) [18]


Kekuatiran ini hilang dengan sebab terputusnya turun wahyu sesudah wafat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Umar bin Khatab memerintahkan Ka’ab shalat Tarawih dengan cara berjama’ah dengan satu imam. Beliau berkata :

إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ

Artinya : Sesungguhnya aku berpendapat kalau mereka ini dikumpulkan pada satu qarii, maka sungguh suatu yang lebih baik.(H.R. Bukhari)[19]


b. mafsadah (kerusakan) yang lebih besar, seperti Rasulullah SAW meninggalkan memugar ka’bah karena kuatir tersinggung kaum Quraisy sebagaimana digambarkan dalam hadits di bawah ini :

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ

Artinya : Bahwasanya Nabi SAW Bersabda : " Seandainnya tidak karena kaummu baru saja dari masa jahiliyah, niscaya aku perintahkan untuk roboh Baitullah (untuk dipugar kembali), lalu aku masukkan apa yang telah mereka keluarkan dari padanya” (H.R. Bukhari)[20]


Jadi, kalau mafsadah ini tidak ada lagi, maka keharusan meninggalkannya itu tidak berlaku lagi.

3. Meninggalkannya, karena tabi’at Rasulullah SAW tidak menyukainya, seperti beliau tidak makan binatang dhabb (sejenis biawak) karena tabi’at beliau tidak menyukainya sebagaimana dikisahkan dalam hadits di bawah ini :

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاََ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.

Artinya : Dari Khalid bin AI Walid, beliau berkata: "Satu hari Nabi SAW disuguhi daging panggang dhabb (sejenis biawak) ketika Nabi SAW hendak memakannya, tiba-tiba ada yang bilang kepada beliau bahwa itu adalah daging dhabb. Seketika itu beliau menarik kembali tangannya. Maka Khalid bertanya: "Haramkah daging binatang itu?". Beliau menjawab: "Tidak, hanya saja ia tidak terdapat di tanah kaumku. Maka aku berusaha menjaga darinya". Khalid lalu memakannya, sementara Rasululiah SAW hanya memandangi saja.(H.R. Bukhari)[21]


Ini tidak menjadi syari’at bagi umatnya dan tidak dapat menunjukkan kepada haram makan dhabb, tetapi hanya masalah tabi’at saja.

Apabila Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan secara mutlaq, artinya tidak ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan Rasulullah SAW meninggalkannya, ini hanya menunjukkan kepada tidak wajib, tidak lebih dari itu. Untuk menunjukkan kepada haram, perlu dalil lain yang menunjukinya. Dan kalau perbuatan tersebut memenuhi kriteria bid’ah hasanah, yaitu dianggap baik oleh kaum muslim dan mempunyai dalil yang bersifat umum yang mendukungnya, maka perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan yang dianjurkan dalam syari’at.

Sayyid Abdullah al-Ghumary, salah seorang ulama lepasan Universitas al-Azhar Mesir, menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat menjadi dalil sesuatu itu adalah haram, antara lain[22] :

1. Yang menunjuki kepada haram hanyalah tiga perkara, yaitu :

a. lafadh nahi, seperti :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا

Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina (Q.S. al-Isra’ : 32)


b. lafadh al-tahrim, seperti :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ


Artinya : diharamkan bagimu (memakan) bangkai (Q.S. al-Maidah : 3)


c. perbuatan tersebut dicela atau diancam dengan siksaan, seperti sabda Nabi SAW :

من غش فليس منا

Artinya : Barangsiapa yang menipu, maka ia bukanlah dari kami (H.R. Turmidzi)[23]


Meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak termasuk dalam salah satu katagori ini.

2. Firman Allah Ta’ala :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Q.S. al-Hasyr : 7)


Allah SWT tidak berfirman : “Apa yang ditinggalkannya (tidak dikerjakannya), maka tinggalkanlah”. Oleh karena itu, meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat menjadi dalil haramnya perbuatan tersebut.

3. Sabda Nabi SAW :

ما أمرتكم به فائتوا منه مااستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه

Artinya : Apa yang aku perintah kepadamu, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu dan apa yang aku larang darinya, maka jauhkanlah (H.R. Ibnu Majah)[24]


Rasulullah SAW tidak bersabda : “Apa yang aku tinggalkan, maka jauhkanlah”. Maka bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, secara otomatis menjadi dalil haram perbuatan itu ?.

4. Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan secara mutlaq hanya menunjukkan kepada tidak wajib. Tidak wajib ini boleh jadi mubah, makruh, sunnah ataupun haram. Ini merupakan suatu yang ihtimal (boleh jadi). Qaidah ushul mengatakan :

أن ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال

Artinya : Sesungguhnya sesuatu yang masuk ihtimal, maka gugurlah ia sebagai dalil


5. Para ulama Ushul mendeviniskan Sunnah dengan perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi SAW. Meninggalkan suatu perbuatan tidak termasuk dalam devinis Sunnah. Dengan demikian, meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat dijadikan hujjah sebagai suatu yang wajib ditinggalkan.


- SELESAI -



[1] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 520

[2] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 26

[3] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 26-27

[4] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 520

[5] Al-Sharkhasi, Ushul al-Sharkhasi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 259

[6] Al-Amady, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 245

[7] Al-Bazdawi, Ushul al-Bazdawi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 160

[8]. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 592, No. Hadits 867

[9] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69, 70 dan 75

[10] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 78

[11] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631

[12] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235

[13] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 290

[14] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 24

[15] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 154

[16] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 50, No. hadits 1129

[17] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 524, No. Hadits : 761

[18] Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 113, No. Hadits : 248

[19] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 58, No. Hadits : 2010

[20] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 180, No. Hadits : 1586

[21] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 93, No. Hadits : 5400

[22] Sayyid Abdullah al-Ghumary, Husn al-Tafahhum wal-Dark li masaalah al-Tark, Hal. 8

[23] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 606, No. hadits : 1315

[24] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 3, No. Hadits : 1
Ibnu Taimiyah berpendapat alam ini qadim

Salah satu keyakinan Ibnu Taimiyah yang menyesatkan adalah jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-maddah atau al-afrad), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali. Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling ekstrim yang dikutip dari faham-faham ekstrim Ibnu Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat dan bahkan menyalahi dalil al-Kitab dan al-Sunnah, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi ijmak seluruh orang Islam. Ibnu Taimiyah menyebut dalam kitabnya, Majmu’ al-Fatawa sebagai berikut :
“Berdasarkan yang di sini, maka nyatalah pula bahwa dalil-dalil akal yang sahih di sisi ahli filsafat juga menunjukkan kepada pendapat mazhab al-Salaf, sesungguhnya pegangan mereka tentang qadim alam adalah berdasarkan bahwa Tuhan senantiasa bersifat sebagai Fa’il (yang menjadikan perbuatan). Mustahil bersifat dengan Fa’il sesudah tidak bersifat dengannya dan mustahil juga ada suatu perbuatan sebagai suatu yang mungkin bagi Tuhan sesudah tidak mungkin serta mustahil pula Tuhan menjadi sebagai Yang Berkuasa sesudah tidak berkuasa. Bahwasanya ini dan semua hujjah mereka menunjukan atas qadim jenis perbuatan (nau’ al-fi’l).”[1]

Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Jika dibuat pengandaian nau’ al-hawadits (jenis benda baharu) senantiasa bersama-Nya, maka kebersamaan ini tidak dinafikan oleh syara’ dan akal, bahkan ia termasuk kesempurnaan-Nya.”[2]

Maksud pernyataan Ibnu Taimiyah ini adalah jenis benda yang baharu adalah qadim dan azali bersama Allah.
Dalam kitabnya yang lain, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Pada ketika itu, maka Azali memastikan adanya nau’ al-hawadits (jenis benda baharu), tetapi tidak memastikan adanya suatu baharu yang nyata (al-afrad). Karena itu, tidak dapat dipastikan qadim semua yang baharu dan tidak juga dapat dipastikan baharu semuanya, tetapi hanya dapat dipastikan qadim jenis yang baharu (nau’ al-hawadits) dan baharu suatu yang baharu yang nyata (al-afrad)[3]

Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim, juga telah disebut oleh Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Subki dalam kitab beliau, ad-Durrah al-Muzhiyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsah[4]

Bantahan pendapat ini
Pendapat Ibnu Taimiyah bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim ini bertentangan dengan ijmak umat Islam bahwa yang qadim dan azali itu hanyalah Allah, sedangkan selain Allah hanyalah baharu yang ada sesudah tidak ada. Zainuddin al-‘Iraqi, seorang muhaddits dan guru dari Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Pendapat yang shahih dalam mengkafirkan orang yang mengingkari ijmak adalah diqaidkan dengan mengingkari hal-hal yang dimaklumi kewajibannya dari agama dengan mudah seperti shalat yang lima. Sebagian ulama menyebutnya dengan mengingkari hal-hal yang diketahui kewajibannya dengan jalan mutawatir. Termasuk didalamnya adalah pendapat yang mengatakan baharu alam.”[5]

Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Qadhi ‘Iyadh dan lainnya telah menghikayahkan terjadi ijmak atas pengkafiran terhadap orang yang mengatakan qadim alam.”[6]


Hal yang sama juga telah dikatakan oleh al-Hafizh al-Lughawy al-Zabidy dalam kitabnya, Syarah Ihya ‘Ulumuddin yang bernama Ittihaf al-Saadah al-Muttaqiin. Dalam kitab ini, beliau mengatakan :
“Berkata al-Subky dalam syarah ‘Aqidah Ibnu al-Hajib, ketahuilah bahwa hukum jauhar dan a’radh (sifat-sifat baharu), semuanya itu adalah baharu. Karena itu, semua alam adalah baharu. Atas ini, telah terjadi ijmak kaum muslimin, bahkan semua agama. Karena itu, barangsiapa menyalahinya, maka dia kafir karena menyalahi ijmak yang qath’i.”[7]

Ijmak para ulama bahwa tidak ada yang azali dan qadim selain Allah ini sesuai dengan firman Allah Q.S al-Hadid : 3, berbunyi :
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
Artinya : Dia (Allah) yang awal dan yang akhir (Q.S al-Hadid : 3)

Tidak ada makna disebut Allah bersifat dengan awal kecuali bahwa hanya Allah yang azali dan qadim, tidak ada yang azali dan qadim selain-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman, yakni Q.S. al-An’am : 101, berbunyi :
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.
( Q.S. al-An’am : 101)

Allah Ta’ala dengan gamblang menjelaskan melalui firman-Nya ini bahwa semua yang ada merupakan ciptaan-Nya, jadi tidak ada sesuatupun selain-Nya yang bukan ciptaan Allah. Sesuatu disebut sebagai ciptaan tentu merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dengan demikian, tidak ada yang qadim dan azali selain Allah.
Hadits Nabi SAW di bawah ini juga mendukung keyakinan bahwa tidak ada yang qadim selain Allah, yakni sabda Nabi SAW yang berbunyi :
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
Artinya : Ada Allah tidak ada sesuatupun selain-Nya (H.R. Bukhari) [8]

Maksud hadits ini adalah pada azal, tidak ada sesuatupun bersama Allah atau dengan kata lain, tidak ada yang azali dan qadim selain Allah.


[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. VI, Hal. 300
[2] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. XVIII, Hal. 239
[3] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Juz. I, Hal. 215
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 85
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 202
[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 202
[7] Al-Zabidy, Ittihaf al-Saddah al-Muttaqiin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 94
[8] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 129
Syaikh Nawawi al-Bantani (4)

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (4-tammat): Al-Ghazali Modern, bagian-2

oleh: Muhammad yaseer Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten. TAMMAT
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (3): Al-Ghazali Modern, bagian-1

oleh: Muhammad yaseer

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wasshalatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washahbihie Waman Walaah amma ba’du…

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.


Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.

Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.

Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.

Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.

Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.

Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.

Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.

Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

bersambung ke bagian 4
Syaikh Nawawi al-Bantani (2-3)
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (2): Karya dan Karomahnya

oleh: muhammad yaseer

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wasshalatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washahbihie Waman Walaah amma ba’du…

Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).


Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.

Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghazali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.

Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.

Bersambung ke bagian 3…


Syaikh Nawawi al-Bantani (1)
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): Guru Para Ulama Indonesia

oleh: muhammad yaseer Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wasshalatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washahbihie Waman Walaah amma ba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M. Bersambung ke bagian 2…