Ibnu Taimiyah berpendapat alam ini qadim
Salah satu keyakinan Ibnu Taimiyah yang menyesatkan adalah jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-maddah atau al-afrad), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali. Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling ekstrim yang dikutip dari faham-faham ekstrim Ibnu Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat dan bahkan menyalahi dalil al-Kitab dan al-Sunnah, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi ijmak seluruh orang Islam. Ibnu Taimiyah menyebut dalam kitabnya, Majmu’ al-Fatawa sebagai berikut :
“Berdasarkan yang di sini, maka nyatalah pula bahwa dalil-dalil akal yang sahih di sisi ahli filsafat juga menunjukkan kepada pendapat mazhab al-Salaf, sesungguhnya pegangan mereka tentang qadim alam adalah berdasarkan bahwa Tuhan senantiasa bersifat sebagai Fa’il (yang menjadikan perbuatan). Mustahil bersifat dengan Fa’il sesudah tidak bersifat dengannya dan mustahil juga ada suatu perbuatan sebagai suatu yang mungkin bagi Tuhan sesudah tidak mungkin serta mustahil pula Tuhan menjadi sebagai Yang Berkuasa sesudah tidak berkuasa. Bahwasanya ini dan semua hujjah mereka menunjukan atas qadim jenis perbuatan (nau’ al-fi’l).”[1]
Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Jika dibuat pengandaian nau’ al-hawadits (jenis benda baharu) senantiasa bersama-Nya, maka kebersamaan ini tidak dinafikan oleh syara’ dan akal, bahkan ia termasuk kesempurnaan-Nya.”[2]
Maksud pernyataan Ibnu Taimiyah ini adalah jenis benda yang baharu adalah qadim dan azali bersama Allah.
Dalam kitabnya yang lain, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Pada ketika itu, maka Azali memastikan adanya nau’ al-hawadits (jenis benda baharu), tetapi tidak memastikan adanya suatu baharu yang nyata (al-afrad). Karena itu, tidak dapat dipastikan qadim semua yang baharu dan tidak juga dapat dipastikan baharu semuanya, tetapi hanya dapat dipastikan qadim jenis yang baharu (nau’ al-hawadits) dan baharu suatu yang baharu yang nyata (al-afrad)[3]
Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim, juga telah disebut oleh Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Subki dalam kitab beliau, ad-Durrah al-Muzhiyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsah[4]
Bantahan pendapat ini
Pendapat Ibnu Taimiyah bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim ini bertentangan dengan ijmak umat Islam bahwa yang qadim dan azali itu hanyalah Allah, sedangkan selain Allah hanyalah baharu yang ada sesudah tidak ada. Zainuddin al-‘Iraqi, seorang muhaddits dan guru dari Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Pendapat yang shahih dalam mengkafirkan orang yang mengingkari ijmak adalah diqaidkan dengan mengingkari hal-hal yang dimaklumi kewajibannya dari agama dengan mudah seperti shalat yang lima. Sebagian ulama menyebutnya dengan mengingkari hal-hal yang diketahui kewajibannya dengan jalan mutawatir. Termasuk didalamnya adalah pendapat yang mengatakan baharu alam.”[5]
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Qadhi ‘Iyadh dan lainnya telah menghikayahkan terjadi ijmak atas pengkafiran terhadap orang yang mengatakan qadim alam.”[6]
Hal yang sama juga telah dikatakan oleh al-Hafizh al-Lughawy al-Zabidy dalam kitabnya, Syarah Ihya ‘Ulumuddin yang bernama Ittihaf al-Saadah al-Muttaqiin. Dalam kitab ini, beliau mengatakan :
“Berkata al-Subky dalam syarah ‘Aqidah Ibnu al-Hajib, ketahuilah bahwa hukum jauhar dan a’radh (sifat-sifat baharu), semuanya itu adalah baharu. Karena itu, semua alam adalah baharu. Atas ini, telah terjadi ijmak kaum muslimin, bahkan semua agama. Karena itu, barangsiapa menyalahinya, maka dia kafir karena menyalahi ijmak yang qath’i.”[7]
Ijmak para ulama bahwa tidak ada yang azali dan qadim selain Allah ini sesuai dengan firman Allah Q.S al-Hadid : 3, berbunyi :
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
Artinya : Dia (Allah) yang awal dan yang akhir (Q.S al-Hadid : 3)
Tidak ada makna disebut Allah bersifat dengan awal kecuali bahwa hanya Allah yang azali dan qadim, tidak ada yang azali dan qadim selain-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman, yakni Q.S. al-An’am : 101, berbunyi :
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.
( Q.S. al-An’am : 101)
Allah Ta’ala dengan gamblang menjelaskan melalui firman-Nya ini bahwa semua yang ada merupakan ciptaan-Nya, jadi tidak ada sesuatupun selain-Nya yang bukan ciptaan Allah. Sesuatu disebut sebagai ciptaan tentu merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dengan demikian, tidak ada yang qadim dan azali selain Allah.
Hadits Nabi SAW di bawah ini juga mendukung keyakinan bahwa tidak ada yang qadim selain Allah, yakni sabda Nabi SAW yang berbunyi :
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
Artinya : Ada Allah tidak ada sesuatupun selain-Nya (H.R. Bukhari) [8]
Maksud hadits ini adalah pada azal, tidak ada sesuatupun bersama Allah atau dengan kata lain, tidak ada yang azali dan qadim selain Allah.
[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. VI, Hal. 300
[2] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. XVIII, Hal. 239
[3] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Juz. I, Hal. 215
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 85
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 202
[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 202
[7] Al-Zabidy, Ittihaf al-Saddah al-Muttaqiin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 94
[8] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 129
Salah satu keyakinan Ibnu Taimiyah yang menyesatkan adalah jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-maddah atau al-afrad), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali. Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling ekstrim yang dikutip dari faham-faham ekstrim Ibnu Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat dan bahkan menyalahi dalil al-Kitab dan al-Sunnah, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi ijmak seluruh orang Islam. Ibnu Taimiyah menyebut dalam kitabnya, Majmu’ al-Fatawa sebagai berikut :
“Berdasarkan yang di sini, maka nyatalah pula bahwa dalil-dalil akal yang sahih di sisi ahli filsafat juga menunjukkan kepada pendapat mazhab al-Salaf, sesungguhnya pegangan mereka tentang qadim alam adalah berdasarkan bahwa Tuhan senantiasa bersifat sebagai Fa’il (yang menjadikan perbuatan). Mustahil bersifat dengan Fa’il sesudah tidak bersifat dengannya dan mustahil juga ada suatu perbuatan sebagai suatu yang mungkin bagi Tuhan sesudah tidak mungkin serta mustahil pula Tuhan menjadi sebagai Yang Berkuasa sesudah tidak berkuasa. Bahwasanya ini dan semua hujjah mereka menunjukan atas qadim jenis perbuatan (nau’ al-fi’l).”[1]
Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Jika dibuat pengandaian nau’ al-hawadits (jenis benda baharu) senantiasa bersama-Nya, maka kebersamaan ini tidak dinafikan oleh syara’ dan akal, bahkan ia termasuk kesempurnaan-Nya.”[2]
Maksud pernyataan Ibnu Taimiyah ini adalah jenis benda yang baharu adalah qadim dan azali bersama Allah.
Dalam kitabnya yang lain, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Pada ketika itu, maka Azali memastikan adanya nau’ al-hawadits (jenis benda baharu), tetapi tidak memastikan adanya suatu baharu yang nyata (al-afrad). Karena itu, tidak dapat dipastikan qadim semua yang baharu dan tidak juga dapat dipastikan baharu semuanya, tetapi hanya dapat dipastikan qadim jenis yang baharu (nau’ al-hawadits) dan baharu suatu yang baharu yang nyata (al-afrad)[3]
Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim, juga telah disebut oleh Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Subki dalam kitab beliau, ad-Durrah al-Muzhiyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsah[4]
Bantahan pendapat ini
Pendapat Ibnu Taimiyah bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim ini bertentangan dengan ijmak umat Islam bahwa yang qadim dan azali itu hanyalah Allah, sedangkan selain Allah hanyalah baharu yang ada sesudah tidak ada. Zainuddin al-‘Iraqi, seorang muhaddits dan guru dari Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Pendapat yang shahih dalam mengkafirkan orang yang mengingkari ijmak adalah diqaidkan dengan mengingkari hal-hal yang dimaklumi kewajibannya dari agama dengan mudah seperti shalat yang lima. Sebagian ulama menyebutnya dengan mengingkari hal-hal yang diketahui kewajibannya dengan jalan mutawatir. Termasuk didalamnya adalah pendapat yang mengatakan baharu alam.”[5]
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Qadhi ‘Iyadh dan lainnya telah menghikayahkan terjadi ijmak atas pengkafiran terhadap orang yang mengatakan qadim alam.”[6]
Hal yang sama juga telah dikatakan oleh al-Hafizh al-Lughawy al-Zabidy dalam kitabnya, Syarah Ihya ‘Ulumuddin yang bernama Ittihaf al-Saadah al-Muttaqiin. Dalam kitab ini, beliau mengatakan :
“Berkata al-Subky dalam syarah ‘Aqidah Ibnu al-Hajib, ketahuilah bahwa hukum jauhar dan a’radh (sifat-sifat baharu), semuanya itu adalah baharu. Karena itu, semua alam adalah baharu. Atas ini, telah terjadi ijmak kaum muslimin, bahkan semua agama. Karena itu, barangsiapa menyalahinya, maka dia kafir karena menyalahi ijmak yang qath’i.”[7]
Ijmak para ulama bahwa tidak ada yang azali dan qadim selain Allah ini sesuai dengan firman Allah Q.S al-Hadid : 3, berbunyi :
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
Artinya : Dia (Allah) yang awal dan yang akhir (Q.S al-Hadid : 3)
Tidak ada makna disebut Allah bersifat dengan awal kecuali bahwa hanya Allah yang azali dan qadim, tidak ada yang azali dan qadim selain-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman, yakni Q.S. al-An’am : 101, berbunyi :
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.
( Q.S. al-An’am : 101)
Allah Ta’ala dengan gamblang menjelaskan melalui firman-Nya ini bahwa semua yang ada merupakan ciptaan-Nya, jadi tidak ada sesuatupun selain-Nya yang bukan ciptaan Allah. Sesuatu disebut sebagai ciptaan tentu merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dengan demikian, tidak ada yang qadim dan azali selain Allah.
Hadits Nabi SAW di bawah ini juga mendukung keyakinan bahwa tidak ada yang qadim selain Allah, yakni sabda Nabi SAW yang berbunyi :
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
Artinya : Ada Allah tidak ada sesuatupun selain-Nya (H.R. Bukhari) [8]
Maksud hadits ini adalah pada azal, tidak ada sesuatupun bersama Allah atau dengan kata lain, tidak ada yang azali dan qadim selain Allah.
[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. VI, Hal. 300
[2] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. XVIII, Hal. 239
[3] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Juz. I, Hal. 215
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 85
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 202
[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 202
[7] Al-Zabidy, Ittihaf al-Saddah al-Muttaqiin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 94
[8] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 129
ada beberapa tulisan dalam blog ini merupakan copi paste dari tulisan kami (kitab-kuneng.blogspot.com), tetapi kok gak disebut sumbernya ? jujur dong sayang...
BalasHapus