Senin, 25 Maret 2013

Risalah Pengantar Memahami Aswaja : Kajian kesejarahan, konsepsi dan penerapan Aswaja dalam keseharian (Bag-3)
 by Bintang Lima Jaya



Oleh : KH. M. Azizi Hasbullah



TAUHID DALAM DUA KALIMAT SYAHADAT

Tauhid yang harus diketahui orang mukallaf yang menjadi kandungan dua kalimat syahadat sebagai berikut :
اشهد أن لااله الا الله وأشهد أن محمدا رسول الله

1. Makna لااله الا الله adalah
لا مستغنى عن كل ما سواه ومفتقر اليه كل ما عداه الا الله

Artinya : Allah tidak membutuhkan pada lain-Nya dan selain Allah selalu membutuhkan kepada-Nya

2. Makna ألوهية adalah
استغناء الإله عن كل ما سواه وافتقار كل ما عداه اليه

Artinya : Allah tidak membutuhkan pada selain-Nya dan selain Allah selalu membutuhkan kepada-Nya, artinya tidak dapat lepas dari Allah.

Konsep
استغناء الإله عن كل ما سواه

(Tidak butuhnya Allah pada yang lain) memuat 28 aqidah sebagai berikut :
1. وجود
2. قدم
3. بقاء
4. مخالفة لحوادث
5. قيامه بنفسه
6. سمع
7. بصر
8. كلام
9. سميعا
10. بصيرا
11. متكلما
12. تنزهه عن الغرض فى افعاله واحكامه

(Segala perbuatan dan hukum Allah bersih dari tujuan yang menguntungkan Allah)
13. تنزهه عن وجوب شيئ عليه فعلا وتركا

(Allah bersih dari beban kewajiban segala sesuatu, dengan melakukan atau meninggalkan)
14. تنزهه عن كون شيئ من الممكنات يؤثر بقوة أودعها الله فيه

(Dan Allah bersih dari segala suatu yang mungkin wujudnya dapat berpengaruh kepada sesuatu dengan kekuatan yang diberi Allah ).

Dan ditambah 14 aqidah yang menjadi kebalikan dari 14 aqidah diatas. Berarti jumlah keseluruhan adalah 28 aqidah.

Sedangkan konsep افتقار كل ما عداه اليه (Selain Allah selalu membutuhkan kepada-Nya ) memuat 22 Aqidah yang umumnya sifat-sifat, sebagai berikut :
1.حياة
2. قدرة
3. إرادة
4. العلم
5. حياً
6. قادراً
7. مريداً
8. عالماً
9. وحدانية
10. حدوث العالم بأسره
11. ان لا تأثير لشيئ من الكائنات فى أثر ما بطبع

(Segala sesuatu yang mungkin wujudnya, tidak memiliki pengaruhi sama sekali dengan sendirinya)

Dan kebalikan sifat-sifat di atas. Berarti jumlahnya ada 22 aqidah.

Aqidah-aqidah tersebut ditambah dengan 28 sama dengan 50. Sehingga kalimat لااله الا الله memuat 50 aqidah.

Selanjutnya makna أشهد أن محمدا رسول الله memuat 12 aqidah sebagai berikut :

Wajibnya sifat :

1.الصدق للرسول والأنبياء( kejujuran para Rasul dan Nabi )

2.الأمانة(dapat dipercaya)

3.التبليغ (menyampaikan amanah Allah)

4.الفطانة (cerdas)

Dan 5,6,7,8 kebalikan empat sifat diatas, kemudian :

9. Iman kepada para Malaikat

10. Iman kepada Kitab-kitab Allah

11. Iman akan datangnya hari akhir

12. Memiliki sifat-sifat manusiawi tanpa mengurangi derajat keluhuran mereka.

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa kalimat لااله الا الله محمدا رسول الله memuat 62 aqidah, 12 terkandung dalam kalimat محمدا رسول الله dan 50 aqidah dalam kalimat لااله الا الله. Demikian keterangan dalam I’anah al-Tholibin I/106

Seanjutnya, tauhid terbagi menjadi tiga bentuk, yakni tauhid fi’li, tauhid sifati dan tauhid dzati. Sedangkan iman terbagi dalam lima tingkatan , yakni iman bi al-muqallad, iman bi ad-dalil, iman bi al-i’yan, iman bi al-haqq dan iman bi al-haqiqah.



ANTARA IMAN DAN ISLAM


Ditinjau dari bahasa, Iman adalah membenarkan (tashqid), sedangkan Islam adalah kepasrahan (taslim) tanpa pembangkangan. Islam lebih umum dari pada Iman karena Iman termasuk rangkaian Islam yang paling mulia. Setiap bentuk tashdiq adalah taslim, namun tidaklah setiap taslim adalah tashdiq. Islam standar ukurnya pada lahiriah anggota badan, tetapi Iman semata hanya dalam hati.

Dalam nash syari’ah, Al-Qur’an maupun hadis, penggunaan dua kosakata itu terkadang diungkapkan dengan arti yang sama, terkadang keduanya adalah dua hal yang berbeda, terkadang diantara keduanya ada sisi saling memasuki (tadakhul, overlapping).

Islam dan Iman adalah sinonim

Sebagaimana firman Allah
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ . فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ – الذريات 35-36

Lalu Kami keluarkan orang-orang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri.

Yang dimaksud adalah rumah nabi Luth dan keluarganya. Para ahli tafsir sepakat yang ada hanya satu rumah.
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ – يونس 84

Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.”

Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda.


Sebagaimana firman Allah Surat Al-Hujurot : 14
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ - الحجرات 14

Orang-orang badui itu berkata :”Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): ” Kamu belum beriman, tetapi katakanlah : ” kami telah tunduk “, karena iman belum masuk di hatimu.

Iman dalam ayat tersebut yang dikehendaki adalah at-tashdiq, membenarkan dengan hati saja. Sedangkan islam yang dimaksud adalah berserah dalam dhahir dengan lisan dan sejumlah anggota badan. Bukti lain, perbedaan makna iman dan Islam adalah Hadis Jibril ketika ditanya tentang Iman beliau menjawab :
أَنْ تُؤْمِنَ بِاَللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْحِسَابِ وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Yakni, engkau beriman pada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, parea utusan-Nya, hari akhir, pembangkitan setelah mati, hisab, qadla’ dan qadar.

Dan ketika ditanya tentang Islam beliau menjawab :
الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إنْ اسْتَطَعْتَ إلَيْهِ سَبِيلًا

Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa bulan Ramadan, dan berhaji ke baitullah jika engkau mampu.

Keduanya sama-sama mengungkapkan Islam dengan kepasrahan lahir dengan perkataan dan pengamalan.
أَنَّهُ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى رَجُلاً عَطَاءً وَلَمْ يُعْطِ الآخَرَ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ يَا رَسُوْلَ الله تَرَكْتَ فُلاَناً لَمْ تُعْطِهِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَقَالَ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَ مُسْلِمٌ ؟ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَأَعَادَ – رواه البخاري ومسلم

Hadist Sa’ad ra, bahwasanya Rasulullah saw. memberikan pemberian pada seorang lelaki, yang tidak beliau berikan pada lelaki lainnya. Sa’ad bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda memberi Fulan, dan tidak memberi pada yang satunya?” Rasulullah menjawab, “Apakah dia muslim?” Sa’ad mengajukan pertanyaan serupa sekali lagi, dan beliau menjawab dengan jawaban serupa. (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam dan iman berbeda tapi saling memasuki ( الاختلاف والتداخل)

Hadist Ahmad dan Thabrani dari haditsnya Umar bin Anbasah dengan sanad shoheh bahwa Rasulullah SAW ditanya :
أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِسْلاَمُ فَقَالَ أَيُّ الإِسْلاَمُ أَفْضَلُ فَقَالَ الإِيْمَان

Amalan apakah yang paling utama? Rasulullah saw. Menjawab, “Islam”, kemudian ditanyakan lagi, “Islam yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman”.

Ditinjau dari hukum syara’, islam dan iman adalah dua hukum akhirat dan dunia. Adapun di akhirat dikeluarkan dari neraka dan tidak abadi di neraka karena sabda Nabi :
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيْمَانٍ - رواه البخاري ومسلم

Akan keluar dari neraka, orang yang di hatinya terdapat sebiji dzarrah (atom) dari iman (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya saja, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa hukum dikeluarkan dari neraka tersebut disebabkan iman yang bagaimana, apakah hanya sekedar keyakinan, atau keyakinan dalam hati sekaligus ikrar dengan lisan, ataukah ditambah pula dengan pengamalan ? Yang jelas, jika ketiga-tiganya, yakni keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan, tentu saja tidak ada perbedaan pendapat, bahwa hal tersebut akan menyelamatkan seseorang dari keabadian di neraka.

* Jika seseorang berikrar dengan lisan disertai keyakinan dalam hati, serta sebagian amal, serta melakukan dosa besar (sebagian dosa besar menurut Mu’tazilah) maka ia telah dinyatakan keluar dari iman, tetapi bukan kafir, sekedar fasiq. Mereka ada di antara dua posisi (manzilah bainal manzilatain) dan selamanya di neraka. Pendapat ini adalah kesalahan besar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

* Jika seseorang membenarkan dalam hati dan mati sebelum mengikrarkan dengan lisan, serta belum beramal dengan anggota badan, maka hal ini merupakan permasalahan yang diperselisihkan. Bagi yang berpendapat bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat kesempurnaan iman, maka orang ini mati sebelum iman. Pendapat ini salah, karena Rasulullah saw. bersabda:
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيْمَانٍ - رواه البخاري ومسلم

Akan keluar dari neraka, orang yang di hatinya terdapat sebiji dzarrah (atom) dari iman (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian hadis Jibril tidak mensyaratkan kecuali hanya tashdiq kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan seterusnya..

Seseorang yang membenarkan dalam hati, dan ada kesempatan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun tidak mengucapkannya, padahal ia mengetahui hukum wajib mengucapkannya, maka hal ini ada dua kemungkinan :
Karena ingkar, maka tergolong kafir
Karena malas, maka menurut pendapat yang adzhar (lebih jelas dalilnya) dia masih tergolong mukmin dengan dasar hadis Nabi di atas. Pendapat kedua mengatakan kafir, karena ucapan dengan lisan adalah rukun. Hal ini karena dua kalimat syahadat bukan hanya melambangkan ungkapan hati, melainkan sebagai perwujudan aqidah lain. Golongan Murji’ah yang ekstrim berpendapat bahwa orang yang demikian ini sama sekali tidak masuk neraka, karena mereka berpendapat bahwa orang mukmin walaupun durhaka, tidak masuk neraka.

* Mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi dalam hatinya tidak percaya. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam urusan akhirat mereka adalah penghuni neraka selama-lamanya. Sedangkan mengenai statusnya terkait dengan urusan duniawi, dia dihukumi Islam dalam hal semisal menjadi imam, memegang kewenangan perwalian atas orang Islam dan sebagainya. Karena kita tidak tahu keeradaan hati mereka. Bagi kita perlu mempunyai dugaan bahwa tidak mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali membenarkan dalam hati, sedangkan yang diragukan hanya hukum di dunia di antara mereka dan Allah swt.

Kesimpulan pembahasan di atas, bahwa Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, tapi terdapat keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Perinciannya sebagai berikut :
Mukmin yang sempurna jika disertai dengan pengamalan dengan anggota. Muslim yang sempurna jika disertai dengan pembenaran dalam hati
Mukmin di hadapan Allah, tetapi diperlakukan kafir di dunia jika membenarkan dalam hati dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan setelah memiliki kesempatan mengucapkannya.
Muslim dalam pandangan hukum dunia, selama mengucapkan dua kalimat syahadat, lebih-lebih mengamalkan dengan anggota badan atas segala perintah dan menjauhi larangan, sebelum terbukti melakukan sesuatu yang mengakibatkan kufur sebagaimana beberapa hal berikut:

Mengingkari ajaran yang dibawa Rasulullah yang telah disepakati para ulama dan diketahui secara masyhur (ma’lum dlaruri). Seperti mengingkari Al-Quran, kitab-kitab samawi (Taurat, Zabur dan Injil), para malaikat-, hukum-hukum Allah, janji-janji-Nya, Hari Kiamat, Surga, Neraka, siksa kubur dan sebgainya, tidak mempercayai sifat wajib bagi Allah atau Rasul-Nya secara ma’lum dlaruri, shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadlan serta ibadah haji bagi yang mampu.
Menganggap adanya sesuatu yang oleh syari’at ketiadaannya ditetapka melalui kesepakatan ulama, meski tidak masyhur di kalangan ummat. Seperti menganggap Allah tidak adil, Allah zhalim, Allah bersifat dengan sifat yang oleh kesepakatan ulama’ ditetapkan mustahil bagi-Nya dan masyhur, meyakini adanya Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.
Menghalalkan keharaman sesuatu yang mujma’ ‘alaih yang diketahui di kalangan ummat, seperti zina, mabuk dan judi.
Mengharamkan sesuatu yang ditetapkan kehalalannya oleh syari’at melalui ijma’ para ulama yang maklum di kalangan ummat, seperti mengharamkan shalat dan zakat.
Meyakini kewajiban sesuatu yang disepakati tidak wajibnya secara syara’ serta menjadi kesepakatan para ulama yang ma’lum dlaruri, seperti menambah satu rakaat atau sujud dalam shalat fardlu.
Setiap perbuatan, perkataan, keyakinan yang sengaja melecehkan terhadap kitab, Nabi, Malaikat, simbol keagungan agama, hukum, janji dan ancaman Allah. Bila tidak sengaja melecehkan, maka tergolong pelaku bid’ah (mubtadi’ah).
Bersambung ke bagian-4
Risalah Pengantar Memahami Aswaja : Kajian kesejarahan, konsepsi dan penerapan Aswaja dalam keseharian (Bag-2)
 by Bintang Lima Jaya




Oleh : KH. M. Azizi Hasbullah



ANTARA ASWAJA DAN MADZHAB EMPAT

Awal kurun kedua hijriyyah sampai pertengahan kurun keempat (sekitar tahun 320 H.) adalah masa-masa keemasan fiqh Islam. Pada masa-masa itu, sebagian besar kaum muslimin mengamalkan detil syari’at Islam dalam berbagai problematika kehidupan mereka dengan langsung merujuknya pada Al-Qur’an, dan sunnah Rasulullah saw. Selain karena kemampuan penggalian hukum dari kedua sumber itu masih mereka miliki, hal ini juga disebabkan karena perburuan berbagai riwayat tafsir dan hadis masih sangat dimungkinkan. Kesemangatan menekuni keilmuan syari’at mendorong mayoritas mereka melestarikan riwayat-riwayat tafsir dan hadis, rumusan-rumusan baku fiqh dari fatwa-fatwa shahabat dan ulama’ generasi setelahnya, berikut pencetusan teori ushul fiqhnya, dalam lembaran-lembaran karya tulis. Lahirlah banyak sekali karya tulis tentang keilmuan syari’at dari tangan-tangan para ulama’. Jadilah, masa itu sebagai era ijtihad dan era pembukuan keilmuan syari’at (tadwin).

Pada pertengahan abad keempat hijriyyah, himmah (kesemangatan) para ulama untuk berijtihad mutlak dan merujuk pada sumber hukum, Al-Qur’an dan sunnah, mulai mengendur. Kemampuan untuk berijtihad mutlak semakin menurun, di sisi lain, mereka mencukupkan diri dengan hasil rumusan fiqh dari ulama’-ulama’ pendahulu. Akhirnya, mereka cenderung mengikatkan diri pada imam-imam mujtahid agung terdahulu yang telah populer dan diyakini kebenarannya. Pada mulanya, madzhab-madzhab fiqh yang terbentuk amat banyak. Namun seiring dengan perjalanan waktu, yang bertahan dan tetap eksis mendapat kepercayaan umat hanyalah empat madzhab, hingga sekarang. Yakni Madzhab Hanafi madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali.

Dan, jika pada perkembangannya, Aswaja didentikkan dengan mengikut pada salah satu dari empat madzhab fiqh di atas, maka hal ini bisa kita nalarkan sebagai berikut : Bahwa saat ini kemampuan berijtihad mutlak hampir tidak mungkin, sehingga yang menjadi kewajiban dalam standar amaliah fiqh bagi setiap orang adalah bertaqlid. Sementara, dalam bertaqlid harus selektif, memilih tokoh panutan (muqallad) yang memiliki kapasitas memadahi. Selain imam madzhab empat yang telah populer, ada sejumlah ulama’ mujtahid yang juga memiliki kapasitas intelektual memadahi. Permasalahannya adalah tidak ada jaminan validitas periwayatan dari pendapat imam-imam mujtahid selain empat imam madzhab. Adapun pendapat-pendapat empat imam madzhab, karena banyaknya pengikut yang selalu melestarikan madzhab imamnya dengan menggiatkan berbagai aktivitas penulisan karya, maka hal inilah yang menjadi jaminan bahwa periwayatan madzhab-madzhab empat adalah valid dan dijamin kesahihannya.

Penyebab berhentinya aktivitas ijtihad

Selanjutnya, kecenderungan terhentinya gerakan ijtihad serta trend mencukupkan diri dengan mengikuti rumusan-rumusan mujtahid sebelumnya, setidaknya dipengaruhi empat faktor. Pertama, terpecahnya kaum muslimin dalam sekat-sekat daulah (negara) yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak terjalin hubungan harmonis di antara negara-negara tersebut. Kecenderungan yang terjadi, di antara negara-negara itu justru saling menguasai. Pemerintahnya pun tersibukkan dengan urusan pertahanan, kekuasaan, dan perluasan wilayah. Orientasi memajukan keilmuan syari’at Islam pun terbengkalai.

Kedua, fanatisme yang amat kental dari masing-masing madzhab. Upaya pencarian dalil dari Al-Qur’an dan hadis diarahkan sebatas untuk memperkuat pendapat imamnya masing-masing, bukan uapaya pencapaian derajat ijtihad mutlak. Bahkan jika terdapat ayat atau hadits yang bertentangan dengan hasil rumusan imamnya, berarti ayat atau hadis tersebut adalah dalil yang interpretatif, harus ditakwil dengan makna lain, atau dalil yang mansukh (dianulir kandungan hukumnya), sebagaimana ungkapan Abu Hasan Al-Kurdi dari ulama’ Hanafiyah, “Setiap ayat atau hadis yang bertentangan dengan pendapat madzhab kita, harus ditakwil atau telah di-naskh”. Sehingga bagi mujtahid yang tidak memiliki banyak pendukung, pendapat-pendapatnya tidak terbukukan dan tidak dijadikan rujukan, seperti Dawud Al-Dhahiri.

Keempat, penutupan pintu ijtihad oleh sebagian ulama. Ini bermula dari tidak adanya rumusan baku tentang persyaratan melakukan ijtihad. Ketika saat itu pintu ijtihad terbuka lebar, sementara kemampuan berijtihad di kalangan kaum muslimin relatif menurun dari masa ke masa, maka ijtihad dilakukan oleh sembarang orang dengan kemampuan seadanya. Akibatnya, terjadi kerancuan di antara beragam hasil ijtihad. Apalagi jika hal ini diterapkan dalam tataran kebijakan publik, seperti dalam ranah peradilan, maka terjadilah penghalalan harta, bahkan nyawa, dengan mengatasnamakan ayat Al-Qur’an dan hadis. Belum lagi adanya gejala bahwa aktivitas ijtihad mulai diintervensi oleh kepentingan politik dan kekuasaan yang akhirnya, ijtihad hanya dijadikan perantara untuk bersembunyi di balik kedok legalitas syari’at. Dengan latar belakang inilah, para ulama memilih jalur aman dengan mencukupkan pada pendapat madzhab-madzhab mujtahid terdahulu yang telah mapan dan dapat dipertanggungjawabkan. Akhirnya, sebagian ulama’ mendeklarasikan tertutupnya pintu ijtihad untuk membuntu pintu masuk sejumlah oknum yang ingin menyalahgunakannya.

Kelima, menyebarnya virus akhlaq atau krisis moral di kalangan sebagian ulama’ kaum msulimin, seperti sifat takabbur, ananiyah (egoisme) dan hasud. Jika ada seorang ulama’ yang mengikrarkan ijtihad, maka segera saja ia diserang oleh ulama’ lain, dengan melontarkan tuduhan “sekedar mencari popularitas”. Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi misalnya, begitu mengikrarkan diri sebagai mujtahid, segera saja ia dihujani pertanyaan ujian oleh banyak ulama’. Akhirnya ia memilih bertaqlid pada imam Syafi’i. Dengan latar belakang seperti ini, setiap orang yang mencetuskan ketetapan hukum akan dengan hati-hati mengatakan ”Saya bukan berijtihad, tapi hanya mengutip pendapat-pendapat orang terdahulu”.

********

AQIDAH AHLUSSUNNAH ADALAH TEOLOGI ASY’ARI DAN MATURIDI

Jika dalam bidang fiqh Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) menjelma dalam cakupan empat madzhab, maka dalam bidang teologi, Aswaja juga memiliki keidentikan dengan madzhab tertentu, dalam hal ini hanya tertentu pada madzhab teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Mengapa demikian? Karena kedua tokoh inilah yang pertama kali merumuskan secara baku, pokok-pokok akidah yang sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau berdua sangat ketat membentengi akidah imam madzhab empat, karena berkeyakinan atas kebenaran mereka pada jalur sunah Rasulullah dan para sahabatnya. Imam Asy’ari mengikat dirinya pada madzhab fiqh As-Syafi’i, sedangkan Abu Manshur Al-Maturidi mengikat dirinya pada madzhab fiqh Imam Abu Hanifah.

Kenyataan bahwa Aswaja hanya tertentu pada pengikut faham Asy’ari dan Maturidi ini dikuatkan oleh pernyataan sejumlah ulama’. Diantaranya adalah Al-Imam al-Alim al-Alamah as-Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini. Ulama’ yang dikenal dengan Syaikh Murtadla Az-Zubaidi dalam kitab beliau Ittihaf Sadat al-Muttaqin syarah Ihya’Ulumiddin karya Al-Ghazali dalam fasal kedua dari muqaddimah syarah ‘aqaid menyatakan sebagai berikut :
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة فَالْمُرَادُ بِهِمْ أَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّة

Jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dikehendaki adalah pengikut faham Asy’ari dan Maturidi.

Demikian pula pernyataan Syaikh Ahmad bin Musa al-Kayali dalam Hasiyah syarah al-’Aqa’id karya Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi :
الأَشَاعِرَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة أَيْ بِحَيْثُ إِذَا أُطْلِقَ هَذَا اللَّفْظُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة لَمْ يَنْصَرِفْ إِلاَّ إِلَيْهِمْ

Para pengikut Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Artinya, jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, tidak akan diarahkan kecuali pada golongan tersebut.

Pada awalnya, Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari belajar ilmu kalam dari Abu Ali Al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Setelah meyakini kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Abu Hasan Al-Asy’ari lah orang pertama yang menantang akidah tokoh Mu’tazilah tersebut. Berdiri di hadapan massa, di atas mimbar masjib Bashrah, dengan lantang beliau menyatakan keluar dari madzhab Mu’tazilah. Setelah itu beliau rajin menyusun karya yang menegaskan pendirian Ahlussunnah wal Jama’ah dan meng-counter pendirian Mu’tazilah.

Dalam sejumlah sumber, dikisahkan perdebatan antara Abu Hasan Al-Asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai dalam rangka menolak dan membatalkan pendapat Mu’tazilah, sebagai berikut :

Al-Asy’ari :

Bagaimana pendapatmu tentang tiga orang saudara yang telah meninggal dunia, yang satu orang taat, yang kedua meninggal dalam keadaan maksiat, dan yang ketiga meninggal saat masih kecil?

Al-Juba’i :

Yang taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, kemudian yang kecil ada di antara surga dan neraka (manzilatun baina manzilataini) artinya tidak diberi pahala dan tidak disiksa

Al-Asy’ari :

Jika yang kecil mengatakan ”Wahai Tuhanku mengapa Engkau mengambil nyawaku ketika aku masih kecil. Jika saja Engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”. Lalu, bagaimana jawaban Allah swt.?

Al-Juba’i :

Allah swt menjawab, “Aku tahu jika kau hidup sampai dewasa maka kau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah kau mati ketika masih kecil”.

Al-Asy’ari

Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan, ”Wahai Tuhanku jika engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu apa yang dikatakan Allah swt.?



Antara Teologi Asy’ari dan Maturidi

Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi sepakat dalam masalah sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah swt., bagi Rasul dan malaikat-Nya, serta sepakat dalam sifat jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, walaupun keduanya berbeda dalam cara penalarannya. Keduanya berbeda pendapat dalam tiga permasalah aqidah yang tidak sampai membahayakan. Pertama, dalam permasalahan istitsna’ (pengecualian). Yakni perkataan seseorang “Saya beriman, Insya Allah (jika Allah menghenmdaki)”. Menurut Asy’ariyah diperbolehkan, menurut Al-Maturidiah tidak diperbolehkan. Kedua, dalam permasalahan takwin, (secara harfiah bermakna mewujudkan, bentuk mashdar dari amar kun, “jadilah”). Menurut Maturidi takwin (mewujudkan) seperti memberi rizqi, menjadikan hidup mati, memberi rizqi sejalan Qudroh, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin (mewujudkan) dan takwin bukan mukawwin (yang menjadikan). Menurut Asy’ari takwin tidak berbeda dengan Qudroh dengan memandang hubungan Qudroh dengan hubungan yang khusus. Mewujudkan adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan kepada makhluq. Memberi rizqi adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rizqi. Wallohu A’lam. Ketiga, status keimanan seseorang melalui taqlid, sekedar mengikuti orang lain yang dipercayainya tanpa mengetahui dalil atau argumentasi rasionalnya. Menurut kalangan Maturidiyyah, keimanan seorang yang ikut-ikutan adalah sah, sehingga orang-orang awam sudah bisa disebut dengan ‘arif (orang yang ma’rifat kepada Allah) dan masuk surga. Sedangkan menurut kalangan Asy’ariyyah ber-ma’rifat (beriman dengan keyakinan yang tumbuh dari dalil) adalah wajib, tidak cukup hanya dengan taqlid. Mengenai status keimanan dari muqallid ini, di antara ulama’ Asy’ariyyah terdapat tiga pendapat, yaitu (1) statusnya mu’min tapi berdosa, karena meninggalkan kewajiban ber-ma’rifat melalui dalil, (2) statusnya mu’min, dan tidak berdosa kecuali jika ia mampu bernalar pada dalil namun ia tidak mau melakukannya, (3) Tidak dianggap mu’min sama sekali.



Aqidah-Aqidah yang disepakati Ahlussunnah Wal Jama’ah

Sejumlah masalah terkait aqidah, di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah disikapi dengan beragam pendapat. Sejumlah aqidah masih menjadi kontroversi pendapat, sejumlah aqidah lainnya telah disepakati. Aqidah-aqidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah yang menjadi standar sesat bagi orang-orang yang tidak meyakininya, adalah sebagai berikut (baca: Al-Farqu baina al-Firaq):
Pengakuan terhadap adanya hakikat dan ilmu (pengetahuan yang mengantar pada keyakinan) secara khusus dan umum. Artinya: mereka sepakat adanya ilmu ma’ani (sifat yang berwujud yang andai hijab atau penghalang dibuka akan dapat dilihat).
Keyakinan kebaruan alam dengan segala macam pembagiannya, yang berupa sifat atau jisim (materi, zat). Artinya, mereka sepakat bahwa alam adalah semua yang selain Allah. Sedangkan semua yang selain Allah dan selain sifat-Nya adalah makhluk (ciptaan). Mereka sepakat bahwa Pencipta alam bukanlah makhluk (ciptaan), bukan dari jenis alam, bukan pula jenis dari juz (partikel) alam.
Pengetahuan tentang Pencipta alam dan sifat-Nya yang dzati. Mereka sepakat bahwa segala hal yang baru (hawadits) pasti ada penciptanya. Maka sesatlah golongan Qodariyah yang mengatakan bahwa perbuatan (yang juga termasuk hal baru, hawadits) tiada yang menciptakan.
Sifat-sifat yang ada pada dzat Allah yakni ilmu, hayat, qudrat, iradah, sama’, bashar dan kalam, berupa sifat yang azali dan abadi.
Nama-nama Allah adalah tauqifi (dogmatik) didasarkan pada pengambilan dari Al-Qur’an dan hadis, tidak dengan dengan cara qiyas, sebagaimana dipahami Mu’tazilah yang menyatakan bahwasanya Allah adalah مطيع لعبده (yang taat pada hamba-Nya) jika Allah mengabulkan apa yang dikehendaki hamba-Nya. Mereka juga menyebut Allah dengan محبل للنساء (yang menghamili perempuan) tatkala Allah menjadikan perempuan hamil.
Pengetahuan tentang keadilan dan kebijaksanaan Allah. Dia yang menciptakan materi dan sifat, baik dan buruknya. Allah yang menciptakan usaha hamba. Tiada pencipta selain Dia. Hal ini berbeda dengan golongan Qadariyyah yang berpendirian bahwa Allah sama sekali tidak menciptakan sesuatupun dari usaha para hamba. Berbeda pula dengan golongan Jahmiyyah atau Jabariyyah yang berpendirian bahwa para hamba tidak punya upaya atas terwujudnya perbuatan. Pendirian moderat yang dipedomani ahlussunnah adalah bahwa para hamba memiliki usaha mewujudkan perbuatan, akan tetapi Allah lah yang menciptakan usaha itu.
Allah mengutus para utusan (rasul) yang mempunyai sifat ma’shum (terpelihara) dari dosa kecil dan dosa besar, sebelum menjadi utusan atau sesudahnya. Antara rasul dan nabi terdapat perbedaan.
Adanya mu’jizat dan karamah. Semua Nabi pasti dikukuhkan dengan mu’jizat, sedangkan wali terkadang memiliki karamah, terkadang juga tidak.
Islam dibangun atas lima dasar dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Barangsiapa mengingkari salah satunya atau menginterpretasikan dengan makna lain, maka ia dihukumi kafir.
Status hukum perbuatan mukallaf ada lima, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
Allah mampu meniadakan / membinasakan alam secara keseluruhan, atau sebagian jisim atau materi dan menetapkan sebagian yang lain. Sesatlah golongan Qadariyah yang mengatakan Allah tidak mampu merusak sebagian alam dengan menetapkan sebagian yang lain.
Tentang khilafah dan imamah (kepemimpinan). Pendirian Imamah hukumnya wajib guna mengatur segala hal terkait kepentingan umat. Ahlussunnah sepakat bahwa pembentukan imamah merupakan hal yang bernuansa ijtihadi (interpretable). Dalam permsalahan khalifah, Rasulullah tidak pernah melakukan penunjukan terhadap orang-orang tertentu secara eksplisit. Maka sesatlah kaum Rafidlah yang menyatakan bahwa Rasul telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra.
Tentang iman dan Islam. Ahlussunnah sepakat bahwa standar asal keimanan adalah pada tataran keyakinan dan ikrar dalam hati, sementara ketaatan atas amaliah wajib tidak berpengaruh pada status asal keimanan seseorang.
Tentang status kewalian
Musuh-musuh agama, ada dua golongan. (1) Golongan yang menampakkan diri sebelum adanya kekuasaan Islam, seperti penyembah berhala, pemuja matahari, rembulan dan bintang-bintang, pemuja setan dan lain-lain. (2) Golongan yang menampakkan diri setelah adanya kekuasaan Islam, yaitu orang-orang kafir yang bersembunyi di balik lahiriah keislaman mereka akan tetapi menikam kaum muslimin dalam keadaan lengah seperti Sekte Ghulat (sekte sempalan Rafidlah Sabaiyyah), Bayaniyyah, Mughayriyyah, Manshuriyyah, Janahiyyah, Khaththabiyyah, dan lain-lain.


Bersambung ke Bag-3
Risalah Pengantar Memahami Aswaja : Kajian kesejarahan, konsepsi dan penerapan Aswaja dalam keseharian (Bag-1)
by Bintang Lima Jaya

Oleh : KH. M. Azizi Hasbullah

Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) pada zaman sekarang diklaim kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah serta mazdhab empat saja, mengapa demikian? Padahal, keberadaan dua kelompok serta empat madzhab tersebut tidak pernah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, bahkan imam-imam mazdhab baru lahir jauh setelah periode Nabi Muhammad SAW.Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan kajian yang mengupas tuntas tentang permasalahan ini. Risalah ini sekedar sebagai pengantar memahami hal tersebut.



Berlatar belakang dari sejumlah hadis, diantaranya adalah hadis yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud IV/210, Rasulullah saw. bersabda :
فَإنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ المهديين الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ – رواه أبو داوود

Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelah wafatku, ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegangan dengan sunnahku dan sunah khulafa’ al-rasyidin (khalifah-khalifah atau para pengganti Rasul yang beroleh petunjuk), berpeganglah dengannya dengan kuat dan gigitlah dengan gigi gerahammu. (HR. Abu Dawud)

Dalam Sunan Tirmidzi V/26 juga disebutkan sabda Rasul :
وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى – رواه الترميذي

Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan berideologi dengan ajaran yang aku dan sahabatku ajarkan”. (HR. Tirmidzi)

Juga disinggung dalam Sunan Ibnu Majah XI/1322, bahwa Nabi bersabda :
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ . – رواه ابن ماجه

Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada pada genggaman-Nya, sungguh akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu golongan masuk sorga, 72 golongan lainnya masuk neraka. Ditanyakan pada beliau : “Siapakah satu golongan yang masuk sorga, ya Rasulullah?” Beliau menjawab :” jama’ah (golongan mayoritas, yakni mereka yang sesuai dengan sunnah para sahabat). (HR. Ibnu Majah)

Dalam Al-Milal wa al-Nihal hlm. 13, disebutkan sebuah hadis, bahwa Rasul bersabda :
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ وَالْبَاقُوْنَ هَلْكَى. قِيْلَ وَمَنْ النَّاجِيَةُ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة، قِيْلَ وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّة وَالْجَمَاعَة ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، الْجَمَاعَةُ الْمُوَافِقُوْنَ لِجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ -رواه ابن ماجه.

Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat satu golongan, dan sisanya binasa. Ditanyakan pada Beliau, “Siapakah golongan yang selamat, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah” Ditanyakan pada Beliau “Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu?” Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku. Al-Jama’ah adalah mereka yang bersesuaian dengan jejak golongan Sahabat. (HR. Ibnu Majah)

Pada zaman Rasul saw. tidak ada perselisihan diantara para sahabat. Akan tetapi, dengan mukjizatnya, Rasul telah mengetahui bahwa akan ada perpecahan pada masa setelah beliau wafat. Karenanya, beliau menyampaikan peringatan dan menggariskan bahwa golongan yang selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran khulafa’ ar-rasyidin dan golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rosul saw. dan sunah para sahabatnya.

Sepeninggal beliau, pernyataan tersebut terbukti, umat Muhammad saw. mengalami perselisihan. Awal-awalnya dipicu oleh sejumlah sebab, diantaranya. tentang kewafatan Rasulullah saw. Sebagian sahabat berpendapat bahwa Muhammad saw. tidak meninggal, namun diangkat, sebagaimana Nabi Isa as. Namun perselisihan reda ketika Abu Bakar as-Shiddiq tampil dan membacakan firman Allah swt. :
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ - الزمر : 30

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS. Az-Zumar : 30)

Dan Abu Bakar berseru, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan, barangsiapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka sesungguhnya Dia Maha Hidup, tidak akan pernah mati.”

Perselisihan kedua terjadi terkait pemakaman Rasulullah saw. Penduduk Mekah menginginkan Rasul dimakamkan di Mekah, karena merupakan tempat kelahiran beliau. Sementara itu, penduduk Madinah menginginkan beliau dimakamkan di Madinah sebagai tempat hijrah dan tempat tinggal sahabat Anshar. Pihak ketiga menginginkan beliau dimakamkan di Baitul Maqdis karena merupakan makam nenek moyangnya, yakni Nabi Ibrahim as. Perselesaian ini terselesaikan setelah Abu Bakar as-Shiddiq kembali tampil dengan menyitir hadis Rasulullah saw :
إِنَّ الْأَنْبِيَاءُ يُدْفَنُونَ حَيْثُ يُقْبَضُوْنَ

Sesungguhnnya para nabi dimakamkan di mana ia diwafatkan

Akhirnya, Rasulullah saw dimakamkan di ndalem beliau di Madinah.

Perselisihan ketiga terjadi dalam kaitannya dengan imamah (kepemimpinan). Bermula dari kaum Anshar yang membaiat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai khalifah. Begitu kaum Muhajirin mengetahui hal ini, mereka yang dipimpin Abu Bakar, Umar, dan ‘Ubadah, memasuki balai pertemuan kaum Anshar sehingga terjadi perdebatan sengit. Kaum Anshor menginginkan agar masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pimpinan sendiri. Persengketaan selesai setelah Abu Bakar kembali tampil dengan menyampaikan sebuah pernyataan:
نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ

Kami (bangsa Quraisy) yang menjadi pemimpin, dan kalian (golongan Anshar) sebagai menjadi menteri (pembantu). Kepemimpinan di tangan bangsa Quraisy.

Maka kemudian dibaiatlah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.

Pada masa kepemimpinan beliau, yang selanjutnya diteruskan oleh Umar bin al-Khaththab belum nampak adanya perselisihan yang berarti di kalangan umat Islam, kecuali sebagian kecil kelompok yang benar-benar menyimpang, seperti kelompok yang menolak membayar zakat, orang-orang yang mengikrarkan dirinya sebagai nabi seperti Musailamah al-Kadzdzab, segerombolan orang-orang yang murtad seperti Thulaihah yang kemudian masuk Islam kembali pada masa kholifah Umar, dan lain-lain.

Sebelum Khalifah Umar wafat karena ditikam Abu Lu’lu’ al-Majusi, beliau sempat merekomendasikan enam orang sahabat yakni Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubadah, untuk menentukan penggantinya. Akhirnya, terpilihlah Utsman bin Affan. Setelah beliau resmi dibai’at sebagai khalifah, muncullah ketidakpuasan dari sebagian golongan. Mereka sengaja memecah belah persatuan umat Islam dengan mengadakan gerakan pemberontakan hingga terjadilah tragedi pembunuhan Khalifah Utsman pada tahun 35 H.

Selanjutnya, Ali bin Abi Thalib tampil sebagai khalifah setelah mendapatkan dukungan bai’at dari penduduk Madinah. Meski demikian, perselisihan yang cikal bakalnya telah ada sejak masa kepemimpinan Utsman, bukan malah mereda, bahkan semakin meruncing. Dalam menyikapi tragedi pembunuhan Utsman, umat Islam terpecah dalam tiga golongan. Golongan pertama, menuntut segera diadakan pengusutan pembunuh Utsman sebelum diadakan pergantian pergantian khalifah. Mereka adalah orang-orang dekat Utsman, diantaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Thalhah, Zubair, Ummul Mu’minin Aisyah dan Amr bin ‘Ash. Golongan kedua, berpendapat bahwa pergantian khalifah harus segera dilaksanakan, setelah itu baru melakukan tindakan pengusutan pembunuh Utsman. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang sependapat dengan beliau. Golongan ketiga, menganggap bahwa pemberontakan yang berujung pada pembunuhan Utsman telah prosedural, sehingga tidak perlu dilaksanakan qishash.

Perseteruan di antara mereka, terutama antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah tidak dapat diselesaikan dengan damai. Akhirnya, meletuslah pertempuran antara kedua kubu hingga menimbulkan banyak korban. Saat kubu Mu’awiyah mulai terdesak, mereka mengajukan tawaran damai dengan mengadakan tahkim (penyelesaian dengan juru hukum) dengan menunjuk wakil dari masing-masing kubu. Pada mulanya, Ali menolak tawaran ini, karena dianggap hanya sebagai siasat belaka. Pendapat ini amat didukung oleh sebagian pengikutnya. Namun atas desakan sejumlah sahabat senior yang bijaksana, akhirnya Ali menerima tawaran tahkim. Kubu Mu’awiyah mengajukan ‘Amr bin ‘Ash sebagai wakil, sementara kubu Ali mengajukan Abu Musa al-Asy’ari, seorang yang terkenal sufi. Namun demikian, tahkim tetap saja tidak menghasilkan sebuah kesepakatan.

Dari latar belakang sejarah ini, lahirlah sejumlah aliran teologi. Pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak menyetujui tahkim akhirnya membelot dan justru mengadakan perlawanan terhadap Ali sekaligus juga Mu’awiyah. Kelompok pembelot ini kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij (secara harfiah berarti orang-orang yang keluar atau membelot). Mereka tidak mau menerima fatwa dan riwayat hadis dari Utsman, Mu’awiyah dan para sahabat yang menyetujui tahkim. Para sahabat tersebut dianggap kafir karena menyetujui tahkim, yang menurut Khawarij, termasuk dosa besar. Karenanya, termasuk salah satu ideologi Khawarij adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar, atau orang yang tidak segolongan dengan mereka, dianggap kafir. Golongan Khawarij ini selanjutnya terpecah menjadi dua golongan. Masing-masing dari keduanya saling mengkafirkan.

Di sisi lain, terdapat golongan yang sangat fanatik terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dengan mendukung dan mengagungkan beliau secara berlebihan. Golongan ini disebut Syi’ah (secara harfiah bermakna pengikut, yakni pengikut Ali). Mereka berkeyakinan bahwa legalitas kepemimpinan Ali berdasarkan nash Al-Qur’an dan wasiat Nabi Muhammd saw. Sedangkan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap merampas jabatan itu. Akibatnya, mereka tidak mau menerima hadits ahkam dan fatwa-fatwa dari selain Ali bin Abi Thalib. serta keluarganya. Dengan rasa fanatik berlebihan ini, mereka berkeyakinan bahwa andaikan Ali ra. bersalah atau berbuat dosa, tidaklah mengapa, karena beliau adalah orang yang beriman. Hingga sekarang pun, mereka berkeyakinan bahwa jika orang sudah beriman, tidaklah mengapa melakukan kemaksiatan, sebagaimana pula orang kafir, tidak ada artinya melakukan ibadah, karena mereka belum beriman. Dalam perkembangannya, Syi’ah ini terpecah menjadi lima golongan yaitu Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghaliyyah dan Isma’iliyyah. (Keterangan selengkapnya mengenai Syi’ah dan Khawarij beserta sekte-sekte sempalan dari keduanya, ada di bagian akhir risalah ini)

Golongan ketiga adalah golongan mayoritas yang kerap disebut Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Mereka adalah golongan yang masih memiliki komitmen terhadap sunnah Rasulullah saw. serta semua sahabat tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Semua sahabat memiliki sifat adalah (keadilan). Adapun perseteruan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah merupakan masalah ijtihadiyyah (interpretable). Jika ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan bagi yang salah mendapatkan satu pahala, sebagaimana jaminan dari sebuah hadis :
مَنْ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ , فَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

Barangsiapa yang berijtihad, dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Jika hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapatkan satu pahala.

Dalam perkembangannya, terdapat satu lagi golongan yang lahir pada penghujung abad pertama hijriah, yakni Mu’tazilah (secara harfiah bermakna yang menyendiri, hengkang). Bermula dari forum halaqah Hasan al-Bashri, seorang ulama’ besar dari kalangan tabi’in. Salah seorang murid beliau yang bernama Wasil bin Atha’ al-Bashri, mengajukan pertanyaan kepada gurunya itu, mengenai nasib orang-orang yang melakukan dosa besar, yang menurut Khawarij telah divonis kafir, sementara menurut golongan lain masih dianggap orang-orang beriman, akan tetapi “hanya” melakukan dosa besar. “Bagaimana menurut Anda?” demikian Wasil menanyakan pada Hasan al-Bashri. Belum sempat dijawab, Wasil menjawab pertanyaannya sendiri ”Menurut saya, para pelaku dosa besar tidak bisa disebut beriman, tetapi juga dan tidak kafir. Mereka berada pada posisi antara surga dan neraka (manzilatun bainal manzilataini)”. Setelah itu Wasil keluar dari forum halaqah Hasan al-Bashri dan menyendiri (i’tizal) mendirikan kelompok sendiri dan menyebut diri mereka sebagai ahlut tauhid wal adli. Mereka berkeyakinan bahwa seseorang bisa masuk sorga jika beramal. Tanpa amal wajib, seseorang akan masuk sorga.



(bersambung ke bagian 2)

Maulid Nabi Bukan Amalan Bid’ah
 February 2, 2013 by ANEUK MIED BAN RAYEUK 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ – الأنبياء107

Tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya: 170)

*****

Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan istimewa bagi kaum muslimin. Di bulan itu, 14 abad yang lalu, lahir seorang anak manusia yang kelak akan menunjuki umat menuju jalan yang benar. Seorang anak manusia yang bukan hanya sebagai pembawa rahmat bagi umat manusia, akan tetapi juga semesta alam. Dialah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, utusan Allah untuk seluruh umat hingga hari Kiamat. Sebagai ekspresi rasa syukur, mayoritas kaum muslimin merayakan kelahirannya dengan peringatan yang dikenal dengan Maulid Nabi. Bentuk perayaan diwujudkan dalam beberapa amalan kebajikan, mulai dari pembacaan Al-Qur’an, sejarah ringkas kehidupan Nabi, shalawat, syair-syair pujian karya syair seperti Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simthud Durar, dan sebagainya dengan harapan sebagai napak tilas keteladanan dari cermin perilaku Nabi yang mulia dalam segala bidang. Hanya saja, ada sebagian kalangan yang tidak setuju dengan amalan ini, dan mengklaimnya sebagai amalan bid’ah.

Sebenarnya, perdebatan pro kontra seputar Peringatan Maulid Nabi ini telah berlangsung sekian abad silam. Banyak karya tulis disusun khusus untuk menyikapi hal ini. Diantaranya adalah risalah karya Imam As-Suyuthi berjudul Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid. Berikut ringkasan dari paparan beliau.

Peringatan Maulid Nabi, sepanjang dilakukan dalam bentuk perkumpulan jama’ah yang diisi dengan membaca Al-Qur’an, penuturan hadis-hadis atau ayat-ayat terkait kisah kehidupan, kemuliaan dan keteladanan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pemberian shadaqah berupa makanan yang dimakan bersama, lalu bubar, tidak lebih dari itu, pada hakikatnya adalah bid’ah hasanah, perbuatan baik yang belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallâhu anhum. Dengan rangkaian kegiatan semacam ini pelakunya mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat unsur penghormatan dan pengagungan pada Rasullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta merupakan perwujudan kegembiraan dan rasa syukur atas kelahiran beliau.

Kritik atas Amalan Maulid

Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhami as-Sakandari yang populer dengan julukan Al-Fâkihâni, seorang ulama’ mutaakhirin Malikiyah, mengajukan klaim bahwa peringatan Maulid merupakan bid’ah madzmumah atau bid’ah tercela. Beliau menyusun sebuah karya khusus membahas tentang topik ini, Al-Mawrid fi al-Kalâm ‘alâ ;Amal al-Mawlid.

Penolakan beliau dilandaskan pada alasan bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid ini, dari Al-Qur’an maupun as-sunnah, tidak juga diriwayatkan adanya ulama’ panutan umat yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ini. Bahkan, Maulid ini adalah amalan bid’ah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Penyimpulan ini, masih menurut Syaikh Al-Fâkihâni, didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum syar’i ada lima, adakalanya wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh atau haram. Sementara Maulid bukan perbuatan wajib atau mandub, karena tidak ada tuntunan untuk melakukannya, karena syara’ tidak memberikan izin, tidak juga dilakukan oleh shahabat atau tabi’in. Tidak mungkin pula Maulid ini distatuskan mubah, karena bid’ah dalam agama bukanlah perbuatan mubah menurut kesepakatan muslimin. Dan, pilihannya tiada lain, bahwa Maulid ini status hukumnya adalah makruh atau haram.

Jika dilakukan dengan pembiayaan kantong pribadi, dengan keluarga dan kalangan karib kerabatnya, tanpa mengundang massa untuk makan-makan bersama, dan tak ada unsur menularkan “dosa” pada mereka, maka bentuk semacam ini hukumnya adalah bid’ah yang berhukum makruh, karena tidak pernah dilakukan ulama’ generasi awal. Jika dalam pembiayaan melibatkan massa, sehingga ada unsur ketidakrelaan dan keterpaksaan dalam mengeluarkan harta, maka semacam ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil.

Terlebih lagi jika peringatan Maulid dengan bentuk massal semacam ini dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilâth) antara lelaki dan perempuan. Maka amalan Maulid dengan bentuk semacam ini jelas dihukumi haram.

Di akhir paparannya, Syaikh Al-Fâkihâni mengingatkan, bahwa bulan kelahiran Rasulullah – yakni Rabi’ul Awwal – adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan.

Sanggahan Imam As-Suyuthi

Berikut garis besar sanggahan yang diajukan Imam As-Suyuthi :
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid dari Al-Qur’an maupun as-sunnah. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa tidak diketahuinya sesuatu bukan berarti tidak adanya sesuatu tersebut. (Begitu juga, tidak diketahui dasar Maulid dari Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan berarti dasar itu tidak ada. Padahal, sejumlah ulama’ telah mengajukan sekian dalil dari Al-Qur’an maupun as-sunnah yang melandasi amalan Maulid ini. Lebih lengkapnya dalam paparan selanjutnya)
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid adalah amalan bid’ah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa amalan Maulid telah dilakukan oleh seorang pemimpin adil dan alim (sebagaimana dalam awal paparan) dan dihadiri oleh para ulama’ dan orang-orang shaleh tanpa adanya pengingkaran dari mereka.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid bukan amalan mandub (sunnah) karena hakikat mandub adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syara’. Pernyataan ini disanggah dengan paparan sebagai berikut : Bahwa anjuran dalam perbuatan yang mandub adakalanya dengan melalui dasar nash (Al-Qur’an atau hadis), adakalanya pula dengan melalui qiyas (analogi). Dalam masalah Maulid ini, meski tidak ada nash yang menjelaskannya secara eksplisit, akan tetapi terdapat pola qiyas dari dua sumber nash, sebagaimana paparan selanjutnya.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa Maulid bukan perbuatan mubah karena amalan bid’ah tidak bisa distatuskan mubah menurut kesepakatan ulama’. Pernyataan ini tidak bisa diterima. Karena bid’ah tidak hanya terkhusus pada hukum makruh dan haram saja. Akan tetapi terkadang bid’ah juga distatuskan mubah, mandub dan wajib. Imam An-Nawawi membagi bid’ah dalam dua kategori, bid’ah hasanah (baik) dan qabihah (buruk). Syaikh Izzuddin bin Abdissalam mengklasifikasikan bid’ah dalam lima model, bid’ah wajibah (yang wajib), muharramah (yang haram), mandubah (yang sunnah), makruhah (yang makruh) dan mubahah (yang mubah). Dicontohkannya, bid’ah mandubah misalnya mendirikan pesantren dan madrasah, perbuatan baik yang tidak ada di generasi awal, termasuk diantaranya adalah shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah. Imam Asy-Syafi’i pun mengajukan pola klasifikasi serupa, dengan membagi bid’ah dalam kategori dlalâlah (sesat) dan ghair madzmumah (tidak tercela). Umar bin Khathab ketika mengomentari pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat dengan berjama’ah, mengatakan “Bid’ah paling baik adalah ini (yakni tarawih, pent.)”. Karenanya, pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa bid’ah tidak bisa distatuskan mubah, adalah pernyataan yang tidak benar, karena jika ditimbang dengan timbangan syara’, amaliah Maulid tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, as-sunnah, atsar (tindakan shahabat), ataupun ijma’. Karenanya, Maulid bukanlah bid’ah madzmumah. Karenanya, membagi-bagikan makanan jika dilakukan tanpa ada unsur keharaman (keterpaksaan, akhdz al-mâl ‘alâ wajh al-hayâ’ ‘mengambil harta orang lain karena pemberinya malu jika tidak memberi’, dan sebagainya) adalah sebuah tindak kebajikan.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa peringatan Maulid karena dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilâth) antara lelaki dan perempuan, adalah amalan haram. Penyataan ini adalah benar. Akan tetapi keharaman ini munculnya karena dalam tataran praktiknya, terjadi hal-hal keharaman yang dilarang syara’, bukan karena amaliah Maulidnya. Andaikan kemungkaran semacam ini (permainan musik yang melalaikan, ikhtilâth ‘interaksi fisik lelaki-perempuan’ dan bentuk kemungkaran lain) terjadi dalam perkumpulan dalam rangka shalat tarawih misalnya, maka kemungkaran-kemungkaran ini adalah perbuatan tercela. Dan status “tercela” ini tidak sampai mengantarkan vonis penilaian “tercela” bagi hukum asal perkumpulan dalam rangka shalat Jum’at. Berkumpul untuk shalat tarawih adalah tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tindak tercela dan terlarang. Begitu pula dalam masalah Maulid; hukum asal perkumpulan untuk mensyiarkan Maulid adalah sunnah dan merupakan tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tercela dan terlarang.
Pernyataan Syaikh Al-Fâkihâni bahwa bulan kelahiran Rasulullah – yakni Rabi’ul Awwal – adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan. Pernyataan ini disanggah dengan paparan berikt : Bahwa kelahiran Nabi adalah nikmat paling agung, sedangkan kewafatan Nabi adalah musibah paling agung. Syariat menganjurkan untuk menampakkan kenikmatan dan menyembunyikan musibah. Contohnya, syariat menganjurkan aqiqah yang berarti menampakkan rasa syukur dan gembira atas anak yang dilahirkan; akan tetapi di saat kematian, syariat tidak menganjurkan untuk menyembelih ataupun yang lainnya, bahkan melarang niyahah ‘meratapi kepergian mendiang’. Karenanya, dalam bulan Rabi’ul Awal, dianjurkan untuk menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasul, bukan menampakkan kesedihan atas wafat beliau.



Pedagang Kaki Lima (PKL) dan permasalahannya

by ANEUK BANCEH 

Fenomena usaha mengais rezeki dengan model perangkat rombong atau gerobak adalah pemandangan sehari-hari, terutama di daerah perkotaan, terutama di lokasi-lokasi yang jalur transportasinya relatif padat. Pada dasarnya, selama tidak menimbulkan permasalahan terhadap pengguna jalan, maka hak mua’malah PKL atau kegiatan perekonomian lain yang memanfaatkan sebagian ruas jalan, dianggap legal menurut syara’. Karena berjualan di tepian jalan adalah termasuk hak pemanfaatan sarana umum, maka semua orang memiliki hak yang sama dalam memanfaatkannya, tanpa harus menunggu izin pemerintah. Namun, pemerintah memiliki kewenangan mengatur dan menertibkan. Bahkan pemerintah juga berwenang memberikan hak istimewa pada pihak tertentu dalam memanfaatkan tepian jalan untuk berjualan (iqtha’ irfâq), sehingga pihak lain tidak berhak memanfaatkan kavling lahan tersebut. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemerintah tidak berhak untuk memungut retribusi dari para PKL tersebut, meski pendapat Abu Ishaq Al-Marwazi membolehkannya. Dan akhirnya, bila secara faktual keberadaan PKL dianggap mengganggu laju transportasi, maka pemerintah berwenang untuk melarang mereka dengan cara penertiban atau usaha lainnya yang dianggap efekfif dalam usaha penanggulangan fenomena sosial ini.

Referensi

أسنى المطالب الجزء االثاني ص: 449
(الباب الثاني في المنافع المشتركة) (من جلس للمعاملة) مثلا (في شارع ولم يضيق) على المارة (لم يمنع) وإن تقادم عهده أو لم يأذن فيه الإمام كما لا يحتاج إليه في الإحياء لاتفاق الناس عليه في سائر الأعصار (وفي) منع (الذمي) من ذلك (وجهان) رجح منهما ابن الرفعة والسبكي عدم المنع ; لأن ضرره لا يتأبد (وله) أي الجالس للمعاملة (التظليل) على موضع جلوسه بما لا يضر بالمارة من ثوب وبارية ونحوهما لجريان العادة به (لا البناء) لدكة أو لما يظلل به , أو لغيرهما وهذا أولى من اقتصار الأصل على بناء الدكة قال الخوارزمي وهل له وضع سرير فيه احتمالان (ويختص الجالس بمكانه ومكان متاعه وآلته ومعامليه) وقوله ” وآلته ” من زيادته ولا حاجة إليه لدخوله في متاعه (ولا يضيق عليه) أي ليس لغيره أن يضيق عليه في المكان بحيث يضر به في الكيل , والوزن والأخذ , والعطاء (فيمنع) أي فله أن يمنع (واقفا) بقربه (إن منع رؤية متاعه أو وصول الواصلين) الأولى قول أصله ” المعاملين ” (إليه) قال في الروضة وليس له منع من قعد لبيع مثل متاعه إذا لم يزاحمه فيما يختص به من المرافق المذكورة (ولو أقطعه إياه الإمام) ارتفاقا (جاز) أي وللإمام أن يقطع بقعة من الشارع لمن يرتفق فيها بالمعاملة ; لأن له نظرا واجتهادا في أن الجلوس فيه مضر , أو لا ولهذا يزعج من رأى جلوسه مضرا (لا) إن أقطعه (بعوض) عبارة الروضة : وليس للإمام ولا لغيره من الولاة أن يأخذ ممن يرتفق بالجلوس , والبيع ونحوه في الشوارع عوضا بلا خلاف (ولا) إن أقطعه (تمليكا) وإن فضل عن حاجة الطروق ومن هنا لا يجوز بيع شيء منه وما يفعله وكلاء بيت المال من بيع ما يزعمون أنه فاضل عن حاجة المسلمين باطل ; لأن البيع يستدعي تقدم الملك وهو منتف ولو جاز ذلك لجاز بيع الموات ولا قائل به نبه عليه السبكي (وإن سبق اثنان) إلى مكان منه (أقرع بينهما) لعدم المزية فإن كان أحدهما مسلما فهو أحق قطعا قاله الدارمي .


الحاوى للفتاوى الجزء الأول ص: 129-130
مسألة: رجل بيده رزقة اشتراها ثم مات فوضع شخص يده عليها بتوقيع سلطانى فهل للورثة منازعته ؟ الجواب: إن كان الرزقة وصلت إلى البائع الأول بطريق شرعى بأن أقطعه السلطان إياها وهى ارض موات فإنه يملكها ويصح منه بيعها ويملكها المشترى منه وإذا مات فهى لورثته ولا يجوز لأحد وضع اليد عليها لا بأمر سلطانى ولا بغيره وإن كان السلطان أقطعه اياها وهى غير موات كما هو الغالب الآن فإن المقطع لا يملكها بل ينتفع بها بحسب ما يقرها السلطان فى يده وللسلطان انتزاعها متى شاء ولا يجوز للمقطع بيعها فإن باع ففاسد وإذا أعطاها السلطان لأحد نفذ ولا يطالب مسئلة: ما شرع فيه فى هذه الأيام من هدم الأبنية المحدثة فى الشوارع وحريم المساجد هل يجوز ام لا ؟ الجواب: نعم بل هو جائز بل واجب (»البارع فى إقطاع الشارع * بسم الله الرحمن الرحيم») الحمد لله وسلام على عباده الذين اصطفى عرض على ورقة صورته: فرع يجوز للامام اقطاع الشارع على الاصح فيصير المقطع به كالمتحجر ولا يجوز لأحد تملكه بالاحياء وفى وجه غريب يجوز للامام تملك مافضل عن حاجة الطريق ومراد قائله ان للامام التملك للمسلمين لا لنفسه


تحفة المحتاج الجزء السادس ص:204
(وما) عرف أنه (كان معمورا) في الماضي وإن كان الآن خرابا (فلمالكه) إن عرف ولو ذميا إلا إن أعرض عنه الكفار قبل القدرة فإنه يملك بالإحياء (فإن لم يعرف) مالكه دارا كان أو قرية بدارنا (والعمارة إسلامية) يقينا (فمال ضائع) أمره للإمام في حفظه أو بيعه وحفظ ثمنه أو استقراضه على بيت المال إلى ظهور مالكه إن رجي وإلا كان ملكا لبيت المال فله إقطاعه كما في البحر وجرى عليه في شرح المهذب في الزكاة فقال للإمام إقطاع أرض بيت المال وتمليكها وفي الجواهر يقال له إقطاعها إذا رأى فيه مصلحة ولا يملكها أحد إلا بإقطاعه ثم إن أقطع رقبتها ملكها المقطع كما في الدراهم أو منفعتها استحق الانتفاع بها مدة الإقطاع خاصة ا هـ وما في الأنوار مما يخالف ذلك ضعيف
(قوله فقال للإمام إقطاع أرض بيت المال وتمليكها إلخ) في فتاوى السيوطي رحمه الله تعالى مسألة رجل بيده رزقة اشتراها ثم مات فوضع شخص يده عليها بتوقيع سلطاني فهل للورثة منازعته الجواب إن كانت الرزقة وصلت إلى البائع الأول بطريق شرعي بأن أقطعه السلطان إياها وهي أرض موات فهو يملكها ويصح منه بيعها ويملكها المشتري منه , وإن مات فهي لورثته ولا يجوز لأحد وضع اليد عليها لا بأمر سلطاني ولا غيره وإن كان السلطان أقطعه إياها وهي غير موات كما هو الغالب الآن فإن المقطع لا يملكها بل ينتفع بها بحسب ما يقرها السلطان في يده وللسلطان انتزاعها متى شاء ولا يجوز للمقطع بيعها فإن باع ففاسد وإذا أعطاها السلطان لأحد نفذ ولا يطالب ا هـ وأقول ما تضمنه كلامه من أن إقطاع السلطان لغير الموات لا يكون على وجه التمليك ممنوع يعلم من كلام الشارح هنا وحينئذ فإذا أقطعه غير الموات تمليكا فينبغي أن يجري فيه ما ذكره المجيب في الشق الأول

Kontroversi Putusan MK tentang Anak di Luar Nikah

BAHTSUL MASAIL by ANEUK MANYAK



Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Pro kontra menyikapi putusan MK tentang status anak di luar nikah terus mengalir.MUI berkomentar keras dan mengecam keputusan tersebut karena dinilai telah mencabik-cabik ajaran Islam dan membuka pintu bagi perzinaan.Sampai-sampai Rais Am PBNU KH. Sahal Mahfudh menginstruksikan kepada panitia Munas Alim Ulama NU 2012 untuk mengkaji kembali batas ketaatan warga kepada pemerintah terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hukum anak luar nikah yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam. (NU online 3/4/2012).

Di lain pihak, Ketua MK, Mahfud MD menilai MUI tidak faham konsep hukum yang mengatakan, bahwa putusan tersebut justru menghalalkan perzinahan. “MUI itu tidak paham konsep hukum. MUI menilai MK menghalalkan perzinahan, justru vonis MK itu mengancam orang agar tidak tidak berbuat zina agar mau bertanggung jawab pada anaknya,” katanya saat meresmikan miniatur Wilwatika di Universitas Islam Majapahit, Mojokerto, Rabu (28/03/2012). Mahfud MD juga menyatakan, MUI sendiri menyamakan hubungan keperdataan dengan hubungan nasab. “Keperdataan, belum tentu bisa diartikan nasab.MK sebenarnya menilai orang yang lahir, pasti punya hubungan nasab dengan bapaknya,” ujarnya. Mahfud menjelaskan, putusan MK hanya mengakui anak hasil perkawinan sah secara agama. Di luar itu (hasil perzinahan, red), secara hukum anak tidak ada nasab dari bapaknya dan hanya perdata saja.Pria asal Madura ini menggambarkan, semisal ada anak terlahir dari hasil perzinahan dan bapaknya tidak bertanggung jawab, maka anak ini bisa menuntut bapaknya secara perdata. (detiknews 28/3/2012).

Ia menyatakan, pihaknya tidak secara spesifik menyebut sahnya perkawinan seseorang. Tapi mengatakan bahwa orang yang kawin sah secara agama atau kawin siri harus dinyatakan mempunyai hubungan perdata dan hak-hak keperdataan yang bisa dituntut seorang anak dari ayahnya yang tidak mau mengakui. “Termasuk kawin kontrak atau kawin mut’ah yang dilakukan secara sah tidak serta merta selesai. Pokoknya kalau ada anak, maka sang ayah harus bertanggung jawab,” terang Mahfudz MD saat ditanya soal hak perdata perkawinan, di Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), JawaTengah. “Nantinya, kata Mahfud, nama ayah harus dicantumkan pada anak. Tetapi setiap anak yang dihasilkan dari nikah siri, atau kawin kontrak harus membuktikan dulu di pengadilan. “Artinya membuktikan dirinya pernah kawin kontrak atau siri, dan ini anaknya.Kalau ayahnya mengelak, bisa dibuktikan sampai tes DNA,” jelasnya. Sedang yang dimaksud hak keperdataan, menurut Mahfud MD, termasuk waris, nafkah, administrasi kalau anak sekolah yang harus disebut ayahnya, maka harus disebutkan. (Okezone 5/3/2012)

Pernyataan ini kontras dengan komentarnya sendiri pada media Februari lalu. Saat itu, ia menilai putusan ini sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.

Wakil Menteri Agama, Nazarudin Umar, mengaku siap menjalankan putusan MK. Menurut Nazarudin, Implementasi putusan MK tersebut adalah anak yang tidak bisa mempunyai akta kelahiran (lengkap dengan nama ayah dan ibu) karena orang tuanya tidak memiliki akta nikah, maka sekarang hal itu bisa berubah.

Pakar DNA Universitas Airlangga Surabaya, Prof Sukri Irfan mengatakan, hasil uji DNA memiliki nilai ketetapan luar biasa untuk membuktikan siapa ayah biologis seorang anak “prosentase kalau itu benar adalah 99,9999 %,” ujar Sukri, Jumat (17/2). DNA umumnya terletak di inti sel. Untuk melihat DNA di dalam sel ini harus melalui cara khusus dan mesin khusus. “Di Surabaya, peralatan ini baru ada di RSU Dr Soetomo,” ujarnya. Prof Sukri menjelaskan, jalan yang paling umum untuk melihat DNA adalah melalui darah. Namun seandainya, orang yang akan diambil DNA-nya ini telah meninggal maka yang dipakai adalah usapan lendir dari pipi.

Pertanyaan (a)

Bagaimana fiqh menyikapi keputusan MK?

Jawaban (b)

Keputusan MK tidak sesuai dengan rumusan fiqh.

Referensi

- Bujairumi‘Ala al-Khathib, juz 4, hlm. 167

- Al-Wasith, Juz 5, hlm. 103

- Mughni al-Muhtaj, juz 4, hlm. 103



تحفة الحبيب على شرح الخطيب | جـ 4 صـ 167
تنبيه علم من كلام المصنف أن البنت المخلوقة من ماء زناه سواء تحقق أنها من مائه أم لا تحل له لأنها أجنبية إذ لا حرمة لماء الزنا بدليل انتفاء سائر أحكام النسب من إرث وغيره عنها فلا تبعض الأحكام كما يقول المخالف فإن منع الإرث إجماع كما قاله الرافعي ولكن يكره نكاحها خروجا من خلاف من حرمها ولو أرضعت المرأة بلبن الزاني صغيرة فكبنته قاله المتولي
قوله (علم من كلام المصنف) أي من قوله بالنسب فإن بنت الزنا لا تحرم عليه قوله (من ماء زناه) أي ولو احتمالا بأن تعاقب عليها رجلان واحتمل كون البنت من كل منهما فيحل لكل منهما نكاحها فيكون قوله سواء أتحقق الخ غيرمنا فله قوله (سواء أتحقق أنها من مائه) أي بأن أخبره بذلك معصوم كسيدنا عيسى عليه السلام قوله (تحل له أي حيث ولدتها بخلاف ما لو ساحقت المرأة المزنى بها زوجة الزاني أو أخته أو أمه أو بنته وخرج ماء الزنا من المرأة المزنى بها فيفرج الزوجة ومن ذكر معها وعلقت به وولدت بنتا فلا تحل له بل تحرم عليه من تلك الجهة لا من جهة أنه ماء زنا لأن ماء الزنا لا حرمة له على الزاني والعبرة بالحرمة وعدمها حال خروجه على المعتمد عند م ر حتى لو أخرجه بيده أو بيد أجنبية واستدخلته زوجته ومن ذكر معها فهو لا حرمة له لو أتت منه ببنت فكانت تحلّ له لو لم تكن من تلك الجهة وأما لو أخرجه بيد زوجته أو أمته فهو حينئذ محترم فإذا استدخلته أجنبية فعلقت به وأتت ببنت فهي حينئذ محترمة وأما حج فيشترط أن يكون محترما حالة الخروج وحالة الاستدخال أيضاً اهـ قوله (وغيره) أي كجواز الخلوة وجواز النظر لما عدا ما بين السرة والركبة اهـ شيخنا قال ع ش على م ر فلو وطىء كافرة بالزنا فهل يلحق الولد المسلم في الإسلام أو يلحق الكافرة؟ ذهب ابن حزم وغيره إلى الأوّل واعتمد م ر تبعا لوالده الثاني كما صرّح به في باب اللقيط اهـ قوله (كما يقول المخالف) وهو أبو حنيفة فإنه يقول إن البنت المخلوقة من ماء زناه لا تحل له ومع ذلك قال لا ترثه فكونها لا تحل له فيه إثباتا لمحرمية لها وكونها لا ترثه فيه إلحاقها بالأجانب ففيه تبعيض الأحكام شيخنا قوله (ولكن يكره الخ) لا يخفى أن كراهة نكاح بنت الزنا لا يتقيد بصاحب الماء بل كل شخص يكره له نكاحها فما وجه هذا التقييد هنا اهـ خ ض قوله (فكبنته) أي التي من الزنا فهي كالأجنبيات أو الضمير للزنا أي في حل له نكاحها وكان الأولى أن يقول فكالبنت المخلوقة من ماء زناه المرتضعة بلبن زناه وعبارة س م وكالمخلوقة من ماء زناه المرتضعة بلبن زناه اهـ وعبارة شرح الروض فكبنتها فالإضافة في قوله فكبنته لأدنى ملابسة أي تعلق لأنها مما تجناه

الوسيط | جـ 5 صـ 103
فرع إذا ولدت من الزنا لم يحل لها نكاح ولدها والمخلوقة من ماء الزنا لا يحرم نكاحها على الزاني لأنها تنفصل عن الأم وهي إنسان وبعض منها وتنفصل عن الفحل وهو نطفة فعلة تحريمه النسب الشرعي وقد انتفى ولو كان بعضا حقيقيا منه لما انعقد ولد الحر رقيقا في منكوحة رقيقة كما لا تلد الحرة رقيقا من زوج رقيق

مغني المحتاج | جـ 4 صـ 103
(و) الثاني (البنات) جمع بنت (و) ضابطها هو (كل من ولدتها) فبنتك حقيقة (أو ولدت من ولدها) ذكرا كان أو أنثى كبنت ابن وإن نزل وبنت بنت وإن نزلت (فبنتك) مجازا وإن شئت قلت كل أنثى ينتهي إليك نسبها بالولادة بواسطة أو بغيرها ولما كانت المخلوقة من ماء الزنا قد يتوهم أنها بنت الزاني فتحرم عليه دفع هذا التوهم بقوله (قلت والمخلوقة من) ماء (زناه) سواء أكانت المزني بها مطاوعة أم لا سواء تحقق أنها من مائه أم لا (تحل له) لأنها أجنبية عنه إذ لا حرمة لماء الزنا بدليل انتفاء سائر أحكام النسب من إرث وغيره عنها فلا تتبعض الأحكام كما يقول به الخصم فإن منع الإرث بإجماع كما قاله الرافعي وقيل تحرم عليه مطلقا وقيل تحرم عليه إن تحقق أنها من مائه بأن أخبره بذلك نبي كأن يكون في زمن عيسى صلى الله عليه وسلم وعلى الأول يكره نكاحها واختلف في المعنى المقتضي للكراهة فقيل للخروج من الخلاف قال السبكي وهو الصحيح وقيل لاحتمال كونها منه فإن تيقن أنها منه حرمت عليه وهو اختيار جماعة منهم الروياني ولو أرضعت المرأة بلبن الزاني صغيرة فكبنته قاله المتولي (ويحرم على المرأة) وعلى سائر محارمها (ولدها من زنا والله أعلم) بالإجماع كما أجمعوا على أنه يرثها والفرق أن الابن كالعضو منها وانفصل منها إنسانا ولا كذلك النطفة التي خلقت منها البنت بالنسبة للأب



Pertanyaan (b)

Sejauh mana peran tes DNA dalam menentukan nasib nasab maupun hak-hak perdata seseorang?

Jawaban (b)

Dalam persoalan hubungan di luar nikah, tes DNA tidak bisa difungsikan sebagai penetapan nasab, meskipun terbukti ada hubungan gen, sebab anak hasil zina tidak bisa dinasabkan pada zani (ayah biologisnya).

Referensi

- Al-Wasith, Juz 5, hlm. 103

- Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 10, hlm. 9

- Takmilah al-Majmu’, Juz 17, hlm. 410

الوسيط | جـ 5 صـ 103
فرع إذا ولدت من الزنا لم يحل لها نكاح ولدها والمخلوقة من ماء الزنا لا يحرم نكاحها على الزاني لأنها تنفصل عن الأم وهي إنسان وبعض منها وتنفصل عن الفحل وهو نطفة فعلة تحريمه النسب الشرعي وقد انتفى ولو كان بعضا حقيقيا منه لما انعقد ولد الحر رقيقا في منكوحة رقيقة كما لا تلد الحرة رقيقا من زوج رقيق

الفقه الإسلامي وأدلته | جـ 10 صـ 9
أسباب ثبوت النسب من الأب سبب ثبوت نسب الولد من أمه هو الولادة شرعية كانت أم غير شرعية كما قدمنا وأما أسباب ثبوت النسب من الأب فهي 1- الزواج الصحيح 2- الزواج الفاسد 3- الوطء بشبهة ونبين كل سبب على حدة فيما يأتي أولاً ـ الزواج الصحيح اتفق الفقهاء على أن الولد الذي تأتي به المرأة المتزوجة زواجاً صحيحاً ينسب إلى زوجها للحديث المتقدم «الولد للفراش» والمراد بالفراش المرأة التي يستفرشها الرجل ويستمتع بها وذلك بالشروط الآتية الشرط الأول ـ أن يكون الزوج ممن يتصور منه الحمل عادة بأن يكون بالغاً في رأي المالكية والشافعية ومثله في رأي الحنفية والحنابلة المراهق وهو عند الحنفية من بلغ اثنتي عشرة سنة وعند الحنابلة من بلغ عشر سنوات فلا يثبت النسب من الصغير غير البالغ حتى ولو ولدته أمه لأكثر من ستة أشهر من تاريخ عقد الزواج ولا يثبت النسب في رأي المالكية من المجبوب الممسوح وهو الذي قطع عضوه التناسلي وأنثياه أما الخصي وهو من قطعت أنثياه أو اليسرى فقط فيرجع في شأنه للأطباء المختصين فإن قالوا يولد له ثبت النسب منه وإن قالوا لا يولد له لا يثبت النسب منه ويثبت النسب في رأي الشافعية والحنابلة من المجبوب الذي بقي أنثياه فقط ومن الخصي الذي سُلَّت خصيتاه وبقي ذكره ولا يثبت من الممسوح المقطوع جميع ذكره وأنثييه الشرط الثاني ـ أن يلد الولد بعد ستة أشهر من وقت الزواج في رأي الحنفية ومن إمكان الوطء بعد الزواج في رأي الجمهور فإن ولد لأقل من الحد الأدنى لمدة الحمل وهي ستة أشهر لا يثبت نسبه من الزوج اتفاقاً وكان دليلاً على أن الحمل به حدث قبل الزواج إلا إذا ادعاه الزوج ويحمل ادعاؤه على أن المرأة حملت به قبل العقد عليها إما بناء على عقد آخر وإما بناء على عقد فاسد أو وطء بشبهة مراعاة لمصلحة الولد وستراً للأعراض بقدر الإمكان. الشرط الثالث ـ إمكان تلاقي الزوجين بعد العقد: وهذا شرط متفق عليه وإنما الخلاف في المراد به أهو الإمكان والتصور العقلي أو الإمكان الفعلي والعادي؟ قال الحنفية الحق أن التصور والإمكان العقلي شرط فمتى أمكن التقاء الزوجين عقلاً ثبت نسب الولد من الزوج إن ولدته الزوجة لستة أشهر من تاريخ العقد حتى ولو لم يثبت التلاقي حساً فلو تزوج مشرقي مغربية ولم يلتقيا في الظاهر مدة سنة فولدت ولداً لستة أشهر من تاريخ الزواج ثبت النسب لاحتمال تلاقيهما من باب الكرامة وكرامات الأولياء حق فتظهر الكرامة بقطع المسافة البعيدة في المدة القليلة ويكون الزوج من أهل الخطوة الذين تطوى لهم المسافات البعيدة

تكملة المجموع على شرح المهذب | جـ 17 صـ 410 المكتبة السلفية
وإن ادعى الزوج أنه من الواطئ فقال بعض أهل العلم يعرض على القافة معهما فيلحق بمن ألحقته منهما فإن ألحقته بالزوج لحق ولم يملك نفيه باللعان وهو أصح الروايتين عن أحمد ولنا أنه يملك الاستعانة بالطب الشرعي في تحليل فصائل دم كل من الرجلين والأم فإن تشاتهت فصائل الدم عنهما أخذ بالقافة وإن اختلفت فإن كان أحدهما (أ) والآخر (ب) والأم (و) فإن جاء الولد (و) رجعنا إلى القافة وإن جاء (أ) كان لمن فصيلته (أ) وإن جاء (ب) كان كذلك وإن جاء (أ ب) رجعنا إلى القافة ويحتمل أن يلحق الزوج لأن الفراش دلالته أقوى فهو مرجح لأحد الاحتمالين فيلحق بالزوج ويمكن أن يلحق بهما ولم يملك الواطئ نفيه عن نفسه وللزوج أن ينفيه باللعان وهذا إحدى الروايتين عن أحمد وإن لم توجد القافة أو أنكر الواطئ الوطء أو اشتبه على الطب الشرعي أو القافة ترك إلى أن يكبر إلى وقت الانتساب فإن انتسب إلى الزوج وإلا نفاه باللعان

Meluruskan Pemahaman Jihad
 by ABUDDUNYA

Jihad dalam pengertian bahasa berasal dari akar kata Jahd yang bermakna berusaha dengan sungguh sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan. Dalam makna yang lebih luas jihad mempunyai pengertian menanggulangi musuh yang nampak, syetan, dan hawa nafsu. Tercermin dalam firman Allah :
وجاهدوا في سبيل الله حق جهاده

Dalam masa kini, jihad perlu kita artikan secara luas yakni bersungguh-sungguh dan bekerja keras melakukan kebaikan. Dan menurut ulama, jihad dapat dimanifestasikan dengan hati, menyebarkan syariat Islam, dialog dan diskusi dalam konteks mencari kebenaran, mempersembahkan karya bagi kemanfaatan muslimin dan dengan melawan kekafiran. Artinya, jihad dapat dilakukan dengan berbagai cara, bukan hanya dengan mengangkat senjata. [1]

Sedangkan makna “Sabilillah” dalam ayat tersebut menurut pendapat mayoritas ulama adalah melakukan segala bentuk ketaatan (Thoat). Sehingga mengentaskan kebodohan dan kemiskinan merupakan contoh-contoh jihad dalam makna semacam ini [2] . Kita bisa juga memahami “Sabilillah” sebagai memerangi hawa nafsu seperti sabda Nabi dalam sebuah hadits :
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر

Kita telah pulang dari jihad kecil, pergi menuju jihad besar

Dalam Islam, kewajiban berjihad hanyalah dalam tataran perantara (wasilah) dengan sebuah tujuan utama membawa petunjuk (hidayah) kepada umat manusia untuk menuju agama Allah SWT. Sehingga ketika dengan media dakwah maupun transformasi pengetahuan hidayah sudah dapat tercapai, cara-cara seperti ini jauh lebih baik daripada harus mengangkat senjata [3]. Di samping itu, jihad yang kita artikan sebagai memerangi kekafiran harus ditempatkan dalam koridor jelas. Artinya, dalam jihad model ini prosedur maupun persyaratan di dalamnya sangat lah ketat. Mirip dengan ketatnya persyaratan dalam melakukan amar ma’ruf terutama ketika sudah masuk dalam konteks bermasyarakat dan bernegara.
Bagaimana mungkin perjuangan yang telah banyak mengabaikan etika maupun prosedur berjihad bisa dinamakan jihad ?. Apalagi kekerasan yang dilakukan telah banyak melanggar baik syariat maupun norma kemanusiaan, diantaranya :
Banyak mengorbankan mereka yang tidak berdosa.
Media dan sarana yang digunakan sangat kontradiktif dengan warna jihad dalam Islam.
Dampak negatif terhadap kaum muslimin lebih besar (kontra produktif)
Mereka tidak menyadari bahwa jihad sangat erat kaitannya dengan wewenang pemerintah, bukan kelompok ataupun individu.

Artinya, mereka belum memahami jihad secara utuh, sekaligus belum memahami Indonesia secara sempurna.

Warga negara non muslim di negara kita harus ditempatkan dalam bingkai syariat secara benar. Sehingga dapat dipahami, mereka tidak seperti Harbi yang harus kita perangi dengan Jihad. Fi Dzimmati Ta’min merupakan kata tepat untuk melukiskan bagaimana hak dan kewajiban mereka sangat dilindungi dalam Islam. Bukan hanya itu, toleransi dengan mereka pun menjadi kebutuhan yang tidak terlarang dalam Islam. Bahkan menjaga hubungan dan hak mereka adalah kewajiban umat Islam.

Jihad secara utuh dapat dilakukan dengan berbagai cara, berjuang dalam pendidikan, perekonomian dan bidang-bidang lain untuk kemaslahatan umat Islam adalah jihad fi sabilillah. Justru cara-cara demikian lah yang harus dilakukan sekarang ini di bumi Indonesia.

Islam sebagai agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia dan relevan dalam segala dimensi, setiap konsepsinya tidak pernah lepas dari tujuan pensyariatan. Seperti jihad, ia disyariatkan sebagai upaya melindungi agama dari sesuatu yang mengancamnya. Ironisnya, term “jihad” merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalah-pahami, khususnya oleh banyak kalangan, bahkan oleh bangsa kita sendiri. Ketika istilah jihad disebut, citra yang muncul adalah pasukan Muslim menyerbu ke berbagai wilayah di Timur Tengah atau tempat-tempat lain; memaksa Non-muslim untuk memeluk agama Islam.Sebenarnya Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin; ia adalah rahmat bagi seluruh umat manusia. Ketika menjelaskan diutusnya Nabi Muhammad, dalam Al-Quran disebutkan bahwa Nabi adalah pembawa rahmat untuk semesta alam, sebagaimana firman dalam al-Quran;
و ما ارسلناك الا رحمة للعالمين

Di samping itu, dalam Al-Quran Allah juga telah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang salah.” (QS. al-Baqarah (2): 256). Dan surat al-Mâidah: 48; “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan hidup yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.” Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah bisa saja menjadikan manusia dalam satu agama jika Ia berkehendak. Akan tetapi Allah telah menciptakan manusia dalam sebuah jalan hidup yang pluralis (beragam) sebagai media pengujian bagi umat manusia, apakah dengan pluralitas tersebut manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis-humanis (ukhuwwah basyariyah).[4]Namun sayangnya, banyak kalangan yang kurang mengerti esensi jihad yang ada dalam al-Quran, memaksakan untuk mengaitkan jihad dengan terorisme. Oleh karena itu sangat perlu lah kiranya untuk memahami esensi jihad yang telah lama didefinisikan ulama dan diajarkan di pesantren-pesantren salaf.

Esensi Jihad

Jihad secara leksikal adalah “mengerahkan upaya”, “berusaha”, “berjuang keras”, atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk melawan sesuatu yang salah. Dari pengertian ini, konotasi yang dimiliki kata jihad sangatlah komprehensif (lengkap). Makna pertama, jihad adalah mujâhadah, yakni perang spiritual melawan dorongan hawa nafsu. Kedua, jihad diartikan sebagai bentuk ijtihâd; yaitu mencurahkan kemampuan guna menjustifikasikan hukum yang cukup rumit melalui metode yang ketat dan diproyeksikan untuk mencetuskan pendapat independen dalam yurisprudensi Islam, yakni dengan metode analogi (qiyâs) dengan menggunakan fondasi ratio-legis (‘illat) yang terpetik dari al-Qur’an dan Hadîts. Ketiga, amr ma’rûf nahi munkar; atau perjuangan menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan kaum Muslimin untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban syariat, serta menyesuaikan dengan norma-norma etiknya. Keempat, qitâl fî sabîlillâh; atau perang untuk membela agama dari sesuatu yang mengancamnya namun harus dengan kode etik yang telah dijelaskan al-Qur’an dan Hadîts, yakni khusus bagi kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam),2tidak bisa diterapkan untuk non Islam yang hidup rukun dengan kaum Muslimin seperti yang ada di bumi Indonesia ini.

Dari keempat arti jihad ini, menurut Nabi saw., mujâhadah adalah yang paling berat. Perjuangan mujâhadah selain bersifat individual dalam menghadapi hawa nafsu, juga akhir perjuangan itu berlangsung kontinue sepanjang hayat. Diceritakan, ketika Rasulallah saw. baru saja pulang dari perang Badar, para sahabat banyak yang merasa bangga dengan kemenangan mereka dalam peperangan itu, karena dengan jumlah yang sedikit mereka dapat mengalahkan tentara yang memusuhi Islam yang jumlahnya berlipat ganda. Tetapi Rasulullah saw. dengan sedikit ucapan menyadarkan para sahabatnya. Beliau berkata: “Kita baru saja kembali dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang amat besar, (bentuk jihad yan lebih besar) yaitu berjuang melawan hawa nafsu” [5]

Jihad secara terminologis adalah mencurahkan kemampuan untuk menolak agresi orang-orang kafir dengan jiwa raga dan harta. [6] Jihad merupakan ”upaya pencurahan tenaga secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Yaitu mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan penuh kerukunan dalam naungan syariat.

Pada dekade ini, sebenarnya yang harus mendapat perhatian lebih adalah bagaimana agar manusia lebih mengenal Allah dengan prinsip-prinsip yang telah diatur ulama untuk mengetahui sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah dan rosul-Nya agar jiwa tauhid manusia terjaga dari kesesatan; mempelajari hukum-hukum agama yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah dan upaya menghilangkan apa yang menjadi hambatan-hambatan manusia untuk hidup secara layak dan penuh kedamaian dan saling menghargai antar sesama manusia.

Upaya ini, menurut Abdul ‘Aziz al-Malibari, tidak hanya berlaku bagi orang muslim, namun harus direalisasikan juga terhadap kafir dzimmi (kafir yang tidak memusuhi orang Islam), musta’man (kafir yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah). Dengan merekapun umat Islam harus hidup bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.

Berbicara mengenai dasar jihad telah disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas dalam QS. Al-Fath; 8-9 Al-Baqoroh 21. Disamping itu, telah dijelaskan pula kode etik dalam pelaksanaannya; QS. Al-An’am; 104 dan 108. Prinsip dasar dan kode etik ini adalah patron yang harus dipenuhi dalam ”berjihad”. Sehingga dalam QS. Al-Anfal 10 dan 16, QS. Al-Kahfi 28, Allah memberikan ”teguran” langsung bagi pihak manapun yang melakukan da’wah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jihad, dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah baku. Yaitu dengan kebijaksanaan (hikmah), nasehat yang baik (mauidhoh), dan argumentasi yang dapat diterima pihak lain.

Fase-fase Jihad dalam Ranah Historis

Seperti halnya masalah lain, jihad diintruksikan secara gradual (bertahap). Dalam karya-karya ulama salaf disebutkan metode tersebut merupakan salah satu wahana dakwah Islam yang acap kali mewarnai turunnya al-Qur’an. Ia dipandang sangat memperhatikan pertimbangan psikis-antropologis dan sosio-kultural masyarakat saat itu, yang sedang mengalami transisi dari kepercayaan dinamisme, animisme, dan henoteisme atau politeisme ke monoteisme (tauhîd). Sehingga perlu adanya afirmasi (itsbât) hukum secara bertahap.

1. Fase Deffensif

Informasi historis secara faktual menunjukkan, saat Nabi saw. mulai mengembangkan sayap-sayap dakwah Islamiahnya, terdapat gerakan pemurtadan dan reaksi penentangan keras yang datang dari penguasa Makkah yang otoriter, diktator serta anarkis-teroris, pengusaha Makkah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lamanya, di samping juga khawatir jika struktur masyarakat dan perekonomian mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi saw. yang menekankan keadilan sosial dan persamaan derajat. Setelah mereka gagal menghentikan laju dakwah Nabi saw. dengan memakai cara diplomatik dan bujuk rayu, akhirnya kaum kafir Makkah menggunakan kekerasan fisik. Kaum muslimin saat itu mendapatkan siksaan yang tidak manusiawi. Mereka dicambuk, dipukul, tidak diberi makan dan minum, diterlentangkan di atas tanah padang pasir dan di atas dadanya diletakkan batu besar. Utsman bin affan dan Abu bakar misalnya, juga mendapatkan perlakuan yang tidak jauh berbeda.

Dalam tahap ini, al-Qur’an belum mengizinkan jihad. Kaum Muslimin saat itu diperintah untuk melaksakan shalat, zakat, menjunjung tinggi persamaan derajat, menghindari Non-muslim yang selalu menteror orang Islam, serta bersabar dan memaafkan atas penindasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh mereka. Jihad saat itu belum diizinkan oleh Allah swt., karena disamping mereka berada di tanah Haram, juga mempertimbangkan kuantitas kaum Muslimin yang hanya secuil dibandingkan kekuatan kafir Makkah. Fase ini disebut tahap kaffu al-yad atau menahan tangan/menahan diri.

Banyak ayat yang menerangkan fase deffensive ini, seperti yang telah dilansir oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah (2): 109 yang menyatakan: “Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kau kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintahnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [7]

Ayat-ayat lain yang menerangkan fase ini juga dapat dijumpai dalam QS. al-Nisâ’ (4): 77, al-An‘âm (6): 106, al-Insân (76): 24, al-Hijr (15): 85, al-Jâtsiyah (14): 45, Qâf (50): 39, dan al-Muzammil (73): 10. Sedangkan Hadîts yang menerangkan hal ini banyak sekali, di antaranya: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah memerangi kaum.” (HR. Ibnu Hatim dari Ibnu Abbas).

2. Fase Izin Berjihad

Penindasan demi penindasan terus berlangsung, setelah mereka gagal dengan cara intimidasi, kaum Non-muslim Makkah akhirnya mendeportasi kaum Muslim dari tanah air mereka. Melihat situasi seperti itu, Nabi Muhammad saw. mencari solusi mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Makkah. Di antara mereka ada yang menuju ke Madinah, dan ada juga yang diungsikan ke Abessinia atau Habasyah (Ethiopia). Rombongan yang terdiri dari 10 orang pria dan 5 wanita berangkat. Di antara anggota rombongan itu terdapat Utsman bin Affan beserta istrinya Ruqayyah, Zubair bin Awam dan Abd al-Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua dipimpin oleh Ja‘far bin Abi Thalib. Ada yang mengatakan rombongan ini terdiri dari 80 pria. Sumber lain menyebutkan mereka terdiri dari 83 pria dan 18 wanita.

Berbagai usaha dilakukan kafir Quraysi untuk menghalangi hijrah ke Habasyah, termasuk membujuk raja Habasyah agar menolak kehadiran umat Islam di sana. Namun berbagai usaha itu gagal total. [8] Seiring dengan pendeportasian ini (2 H.), turunlah ayat yang menyatakan: ‘’Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar kuasa menolong mereka itu. (yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah.‘‘ (QS. al-Hajj (22): 39-40).



Dalam fase ini umat Muslimin sebatas ‘diizinkan’ berperang, belum ‘diperintahkan’ berperang dan melawan teror-teror kaum kafir. Ayat-ayat lain yang menerangkan fase ini adalah al-Baqarah (2): 190, dan al-Nisâ’ (4): 77. Izin atau permisi jihad dalam fase ini hanya berlaku ketika kaum Muslimin mendapat agresi dari kaum kafir terlebih dahulu, artinya kaum Muslimin tidak diizinkan mendahului menyerang (offensive, hujûm) [9]

3. Fase Wajib Jihad

Pada fase ketiga ini kaum Muslimin telah diwajibkan berjihad. Sebagaimana pernyataan wahyu Ilahiyyah (divine revelation): “Diwajibkan (kutiba) atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah(2): 216).



Intruksi dengan kalimat imperatif “kutiba” yang terdapat dalam ayat di atas menunjukkan wajibnya jihad. Kewajiban tersebut bersifat kolektif dan representatif (fardhu kifâyah). Maksudnya, walaupun obyek kewajiban ini adalah seluruh komunitas Muslim yang memenuhi kriteria sebagai subyek jihad, akan tetapi pelaksanaannya hanya dicukupkan pada satu orang atau golongan, dan itu sekaligus dapat menggugurkan dosa bagi orang lain yang tidak melakukannya. Kecuali jika daerah Islam mendapat agresi dari orang-orang kafir, maka pada situasi seperti itu kewajibannya berubah menjadi fardhu ‘ain,[10] bagi penduduk pribumi dan yang berdomisili di sekitar tempat itu dengan jarak kurang dari masâfah al-qasr.[11] Bagi orang-orang yang berada pada jarak melebihi jarak tersebut, hukumnya fardhu kifâyah. Hukum fardhu kifâyah ini hanya berlaku apabila pasukan Muslim yang sedang bertempur di medan perang telah mampu mengimbangi kekuatan Non-muslim. Sehingga tatkala pasukan Muslim dalam situasi terdesak dan terpaksa dipukul mundur oleh kekuatan kafir, maka hukum jihad menjadi fardhu ‘ain bagi semua kaum Muslimin.[12] Namun jihad dalam fase ini juga tetap mempertimbangkan kemapuan kaum muslimin, jika tidak mampu maka kaum muslimin tidak diwajibkan untuk berjihad.
Ayat-ayat lain yang menyatakan kewajiban ini juga terlansir dalam surat al-Baqarah (2): 244, al-Mâidah (5): 54, al-Anfal (8): 6, 8, 39 & 57, al-Taubât (9): 5, 12, 14, 29, 36, 73&123, dan Muhammad (47): 4 & 22.
4. Fase Terakhir serta Munculnya Madzhab Defensif (Difâ‘i) dan Ofensif (Hujûm)
Tiga fase jihad telah terlewati, mulai dari bersabar serta memaafkan kaum kafir yang anarkis-teroris, diizinkan berjihad sampai wajib berjihad. Pada awalnya kaum Muslimin dilarang memerangi kaum kafir, kemudian disusul permisi dan intruksi jihad secara terbatas, yakni hanya boleh sebatas upaya deffensive dari agresi kaum kafir. Nah, sekarang tiba waktunya Allah swt. menjelaskan limit (batasan) waktu pelaksanaan jihad. Dalam fase ini terdapat dalil transferensial (naqli) yang berbunyi:
وَقَاِِتلُوهُمْ حَتىَّ لاَ تَكُونَ فِتنَةٌ وَيكونَ الدِينُ للهِ فَاِنِ انْتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ اِلاَّ عَلَى الظَاِِلمِينَ

”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi, dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.”(QS. al-Baqarah(2): 193).

Dalam mengomentari ayat ini, al-Qurthubi mengatakan, bahwa ayat ini tidak menganulir ayat-ayat yang menerangkan fase-fase sebelumnya. Oleh karena itu, intruksi ini hanya terbatas untuk memerangi orang kafir yang melakukan agresi, penganiayaan, pemurtadan, dan mendeportasi kaum Muslimin dari tanah airnya. Versi ini nampaknya merupakan hipotesis deduktif yang dipakai oleh sebagian ulama untuk membangun konsep “madzhab jihad deffensive”. Prinsip dari paham deffensive ini adalah perang hanya dilakukan demi mempertahankan diri dari tekanan dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh pihak kafir.[13]

Antara Perang Tercela dan Terhormat

Islam memandang peperangan adalah suatu hal yang buruk karena mengakibatkan jatuhnya korban dan rusaknya tatanan kehidupan, namun dampak destruktif tersebut harus diabaikan jika memang genderang perang ditabuh demi tujuan mulia, yaitu dakwah Islam dan membasmi kaum musyrik yang “memerangi” kaum Muslim. Al-Qur’an sendiri tidak melegalisasi peperangan kecuali demi mencapai empat tujuan: pertama, memerangi kaum musyrik yang tidak mengindahkan dakwah Islamiyyah dan mencoba melawannya. Lebih dari itu mereka juga mengintimidasi dengan pelbagai siksaan demi membatalkan dakwah Islamiyyah. Terpotret jelas dalam historis perjalanan Islam, Rasulullah swt. pernah melakukannya demi tujuan tersebut; kedua, memerangi orang-orang yang merampas hak-hak orang Muslim, seperti memerangi pembegal dan sebagainya; ketiga, memerangi orang-orang yang murtad, karena mereka dianggap membahayakan agama dengan cara bertindak provokatif dan melakukan propaganda. Perang ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq sebagai upaya preservatif terhadap agama; keempat, memerangi kelompok pemberontak (bughât) yang menolak untuk taat kepada pemerintah, undang-undang, dan menolak untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Perang ini pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai upaya konservasi terhadap “kesatuan umat Islam”.

Peperangan yang disyariatkan dalam Islam dan yang dipandang sebagai jihad adalah perang-perang dengan tujuan di atas. Maka peperangan selain itu hukumnya adalah haram, seperti peperangan yang dipicu oleh motifasi mendapatkan harta rampasan perang, unjuk kekuatan, unjuk keberanian, kesombongan, pamer, fanatisme golongan (‘ashâbi‘ah), balas dendam, kecemburuan, persaingan (rivalitas /munâfasah), malignitas (‘adâwah) dan memperebutkan kedudukan. [14]

Peperangan yang bertujuan negatif adalah tercela dan tidak bisa dikategorikan jihad fî sabîlillâh. Menurut satu pendapat, tidak semua peperangan bisa disebut jihad. Hanya yang murni bertujuan menegakkan agama Islam yang disebut jihad. Demikian pula jihad akan menjadi tercela jika disertai tujuan mencari harta rampasan dan sebagainya. Mungkin pendapat ini terinspirasi oleh Hadîts yang menyatakan; “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal-amal kecuali yang bertujutuan murni.”

Al-Thabari dan mayoritas ulama cenderung mengarah pada tidak tercelanya jihad yang disertai tujuan lain, dengan catatan kalau tujuan-tujaun lain tersebut bukan tujuan utama. Hadîts di atas diarahkan pada tidak diterimanya amal dengan tujuan ganda yang sama-sama kuatnya, dalam arti keduanya adalah tujuan yang diprioritaskan secara bersamaan. [15]






__________________________________

[1] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz. XVI hal. 125

[2] Zad al-Masir jilid. III hal. 331

[3] I’anah at-Thalibiin juz. IV hal. 181

[4] Dr. Abd al-Qadir Awdah, al-Tasyrî’ al-Jana’I al-Islâmi, Muassasah al-Risâlah, cet. XI, 1996, vol. I, h. 30-35.

[5] PT Ichtiar Baru van Hoeve, Ensiklopedi Islam, cet. 4, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, vol. III, h. 186.

[6] Dr. Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islam, Dar al-Fikr, vol. VI, h. 413-414. Lihat juga Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, cet. I, Jakarta: PT. Temprint, h. 155-158.

[7] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthûbi, Dar al-Sya‘bi, vol. II, h. 71, vol. I, h. 62, vol. XVII, h. 203, & vol. XIX, h. 149. Lihat juga Isma‘îl bin Umar bin Katsir al-Damsuqi Abu al-Fida’, Tafsîr Ibn al-Katsîr, Dar al-Fikr, vol. I, h. 526.

[8] Ensiklopedi Islam. Op. cit., vol. III, h. 266.

[9] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah. Op. cit., vol. II, h. 347, vol. II, h. 35 & vol. V, h. 281. Lihat juga Isma‘îl bin Umar bin Katsir al-Damsuqi abu al-fida’. Op. cit., h. 227.

[10] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah. Op. cit., vol. III, h. 216. Dr. Musthafa al-Hin dan Dr. Musthafa al-Bugha, Fiqh al-Manhaji, Beirut: Dâr al-Qalam, cet. IV, 1996 M., jilid: III, vol. VIII, h. 116-118.

[11] Masâfah al-Qashr, menurut Ahmad al-Husayn al-Mishri=94,500 m. Versi al-Makmun=89,999,992 m. Dalam kitab Tanwîr al-Qulûb=86 km. Menurut Hanafiyyah=96 km. Menurut mayoritas ulama=119,999,88 m. Sedang menurut Wahbah al-Zuhayli dalam kitab Fiqh al-Islami=88,74 km. Lihat dalam buku “Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha”, penyusun Kelas III Aliyah 1997, Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

[12] Abi Zakaria Yahya bin Syarif al-Nawawi, Raudhah al-Thâlibîn, Maktabah al-Islâmi, vol. VII, h. 416. Lihat juga Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn bi al-Kuwait. Op. cit., vol. III, h. 168.

[13] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah. Loc. cit.

[14] Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H./1332-1406 M.), Muqaddimah Ibnu Khaldûn, cet. Dar al-Fikr, h. 270.

[15] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl al-Awthâr, Beirut: Dr al-Jail, 1973, vol. VII, h. 244.